Kamis, 20 Agustus 2009

Berita Dari Riau

Kecaman Atas Tindak Kekerasan Terhadap Masyarakat Suluk Bongkal

JAKARTA. Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional yang dipimpin Donny Pradana WR dan Isti Komah, S, Fil menyatakan kecaman atas aksi kekerasan politik oleh pihak kepolisian terhadap masyarakat yang menduduki Dusun Suluk Bongkal Desa Beringin Kec, Pinggir, Bengkalis, Riau.

Perjuangan landreform masyarakat Dusun Suluk Bongkal dalam konflik agraria dengan PT. Arara Abadi patut diapresiasi sebagai bentuk anti-tesa terhadap praktek monopoli tanah yang berlangsung di Indonesia, negeri setengah jajahan setengah feodal.

Berani berjuang, berani menang!

---

http://www.riauterkini.com/lingkungan.php?arr=22158

Sabtu, 20 Desember 2008 20:07

Kapolda Dituntut Mundur
Kontras Medan Kunjungi STR yang Ditahan

Bentrok STR dengan Polisi yang memberangus 300-an rumah warga Desa Beringin Dusun Teluk Bongkal berbuntut tuntutan mundur untuk Kapolda Riau.

Riauterkini-PEKANBARU-Hari ini sabtu (20/12), sejumlah aktivis sedang menuju ke Bengkalis. Mereka hendak menjumpai seratusan anggota STR yang juga warga Dusun Teluk Bongkal yang ditahan Polres Bengkalis pasca bentrok masal dengan kepolisian. Jhoni Setiawan Mundung (Direktur Walhi Riau), Rinaldi (Koordinator SEGERA), Suryadi (Direktur LBH Pekanbaru), Diah Susilowati (Kontras Medan) saat ini sedang menuju Polres Bengkalis.

Kata Mundung, pihaknya sudah melakukan konfirmasi dengan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HSM) terkait dengan bentrok yang berujung dengan larinya warga ke dalam hutan untuk bersembunyi. Selasa (23/12) lusa, tambahnya, Komnas HAM Jakarta akan turun untuk menyikapi dan melihat secara langsung kondisi masyarakat pasca bentrok STR dengan Polisi. Sementara terkait anak-anak yang menjadi korban,m KPAID Riau akan membahas permasalahan tersebut.

Karena, tambah Mundung, temen-temen dari aktivis LSM seperti Walhi Riau, KBH, LBH, KAR, LKHD, JIKALAHARI dan lain-lain mengutuk keras aksi kekerasan pihak aparat keamanan dalam menghadapi masyarakat. “Pokoknya, kita mengutuk keras aksi kekerasan yang ditunjukkan oleh aparat keamanan (dalam hal ini kepolisian) yang sudah mengintimidasi warga Dusun Teluk Bongkal Desa Beringin. Dan kami meminta Kapolda Riau untuk mundur dari jabatannya,” terangnya.

Menurut Mundung, kondisi terakhir warga Dusun Teluk Bongkal Desa Beringin mengenaskan. 1 warga yang masih anak-anak tewas dalam sumur. Diduga panik akibat kerusuhan yang berujung bentrok antara STR dengan pihak kepolisian. 300 rumah warga habis dibakar oleh anggota Samapta Polda, Pam Swakarsa PT AA dan Satpol PP.

Pasca bentrokan dengan polisi saat pengosongan lahan PT Arara Abadi (PT AA), kini sekitar 400 warga Serikat Tani Rakyat (STR) yang umumnya wanita dan anak-anak bersembunyi di hutan. Mereka kini dalam kondisi memprihatinkan dan terancam kelaparan. Para wanita dan anak-anak yang bersembunyi di hutan itu terancam kelaparan karena mereka tidak memiliki stok makanan. Mereka enggan keluar dari hutan karena takut ditangkap.

Kandidat DPD Riau ini menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan negara, aparat keamanan PT AA dan aparat keamanan Pemda itu karena warga dinilai melanggar UU Kehutanan. Padahal masyarakat sudah serngkali melaporkan ke pihak kepolisian (Polsek Mandau dan Polres Bengkalis. Namun laporan tersebut dianggap angin lalu oleh pihak kepolisian.

“Yang pasti, tindakan yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan negara, pemda dan swasta itu sudah melanggar HAM warga. Karena informasi yang kami dapatkan adalah dalam kerusuhan yang berujung bentrok itu, rumah warga di bom dengan menggunakan helikopter,” terangnya. ***(H-we)
Tolak Harga BBM Naik, Ribuan Massa SEGERA Macetkan Jalan di Pekanbaru

http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=19008

Aksi penolakan rencana pemerintah menaikan harga BBM terus berlanjut. Ribuan massa SEGERA saat ini memacetkan sejumlah ruas jalan di Pekanbaru.

Riauterkini-PEKANBARU- Riabun massa yang tergabung dalam Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA) melakukan aksi turun ke jalan, Senin (12/5). Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes rencana pemerintah menaikan harga BBM, menyusul terus menggilanya harga minyak mentah di pasar dunia.

Aksi dengan konsolidasi massa di depan Tugu Keris di depan kediaman Gubernur Riau M Rusli Zainal. Keberadaan ribuan massa dengan ciri khas pernak-pernik merah tersebut kontak membuat arus lalu lintas di Jalan Diponegoro tersendat. Setelah massa terkumpul semua, koordinator lapangan langsung memerintahkan massa bergerak menuju Taman Makam Pahlawan Kusuma Dharma.

Rencananya, massa akan menggelar aksi di gedung DPRD Riau dan mendatangi sejumlah SPBU di Pekanbaru. Hingga berita ini diturunkan massa masih mengawali aksi dan baru tiba di TPM Kusuma Dharma.

Untuk mengamankan jalannya aksi, terlibat puluhan polisi melakukan penjagaan. Keberadaan massa SEGERA yang tengah berjalan tak urung memacetkan Jalan Patimura dan membuat Jalan Jendral Sudirman di depan TPM di tutup dua jalur.***(mad)

Konflik PT Arara Abadi-Masyarakat, Ketika Isu Tanah Ulayat Mengancam Investasi

http://serikat-tani-riau.blogspot.com/2008/03/konflik-pt-arara-abadi-masyarakat.html
http://www.metroriau.com/?q=node/2113

Sekitar 800 hektar lahan di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang hak pengelolaannya diberikan kepada PT Arara Abadi (AA), kini berubah menjadi areal perkebunan sawit dan perkampungan. Jangankan perusahaan pemasok bahan baku bagi PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) ini, pemerintah pun tak mampu mengamankan investasi miliaran rupiah itu akibat kuatnya tekanan dari kelompok massa yang terorganisir dan mengusung isu tanah ulayat.

Sebagai perusahaan yang diberi hak pengelolaan sesuai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) untuk wilayah Bengkalis dan Kampar (sebelum pemekaran, red), PT Arara Abadi telah mengawali kegiatannya di wilayah ini sejak tahun 1991. Investasi bernilai miliaran rupiah di kawasan seluas 299.975 hektar itu, didasarkan kepada Izin No. 743/Kpts-II/1996 yang berlaku surut.

Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) di wilayah Bengkalis dan Kampar yang meliputi Desa Tarik Serai, Pinggir, Tasir Serai Timur, Melibur, Minas, Desa Mandiangin, Pinang Sebatang Barat, Koto Garo dan Pantai Cermin oleh pemerintah tentu memiliki alasan yang kuat. Salah satunya adalah, menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, serta mendatangkan devisa bagi negara. “Saat ini ada sekitar 15.000 tenaga kerja yang ditampung PT Arara Abadi dan IKPP atau rekanan perusahaan,” kata Musherizal Yatim kepada Metro Riau.

Sesuai izin yang diberikan pemerintah, di lokasi ini PT Arara Abadi hanya diberi kewenangan atas pengelolaan kawasan hutan, bukan untuk memilikinya. “Tanah itu milik negara, bukan milik perusahaan yang mengantongi izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dari pemerintah,” kata Yuwilis SH MH, kuasa hukum PT Arara Abadi.

Meski telah mendatangkan devisa yang begitu besar bagi negara, daerah atau masyarakat, namun perjalanan PT Arara Abadi di Riau tidaklah berjalan mulus. Dari tahun ke tahun, anak perusahaan Sinar Mas Group ini selalu mendapat tekanan dari masyarakat yang mengklaim sebagai warga tempatan, dan berhak atas tanah yang dikelola perusahaan ini. Celakanya, pemerintah ataupun aparat keamanan seperti kehabisan akal dan kehilangan power. Alhasil, sengketa pun tak pernah berujung, seperti yang saat ini terjadi di wilayah Tasik Serai, Pinggir dan Tasik Serai Timur.

Sikap pemerintah yang lamban menyelesaikan konflik antara PT Arara Abadi dengan masyarakat yang terus membabat tanaman eucalyptus, acasia dan crasicarpa di areal seluas ribuan hektar itu, dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak.

Namun soal ini langsung dibantah para pejabat PT Arara Abadi atau PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Manager Humas PT Indah Kiat Pulp and Paper, Nasaruddin menegaskan mereka tidak akan menempuh tindakan yang bertentangan dengan hukum. Meskipun saat ini perusahaan sudah mengalami kerugian hingga Rp10 miliar sejak pencaplokan itu terjadi.

Kuasa Hukum PT Arara Abadi, Yuwilis SH MH juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, perusahaan PT Arara Abadi tidak akan melakukan tindakan yang dapat merugikan kedua belah pihak tersebut. “Kita tidak akan melakukan cara-cara seperti itu,” katanya saat diminta tanggapan atas kemungkinan dilakukannya upaya kekerasan untuk merebut lahan yang sudah diambil kelompok masyarakat tersebut.

Sikap perusahaan yang lebih banyak menunggu, meski harus menelan kerugian yang cukup banyak itu dinilai banyak pihak sebagai langkah bagus. Namun, tanpa ada kepastian hukum dari pemerintah, langkah ini terkesan sia-sia.

Sebagai bukti, hingga kini tidak ada langkah kongkrit yang dilakukan aparat kepolisian, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk mengamankan investasi yang ditanamkan perusahaan ini di kawasan tersebut. Hal itu tercermin dari tidak adanya tindakan nyata dari laporan PT Arara Abadi ke Polsek Pinggir bernomor 192/VII/2007/Yanmas, menyusul perusakan tanaman Eculyptus di KM 42 hingga KM 46 Areal HPHTI Distrik Duri II yang terjadi Selasa (17/07/2007), atau Polres Bengkalis dan Polda Riau.

Melihat situasi yang semakin tidak terkendali ini, wajar saja jika kemudian perusahaan meminta perlindungan dan penegak hukum kepada Presiden, Menteri Kehutanan dan Kapolri. Menurut Yuwilis, langkah ini diambil PT Arara Abadi sebagai upaya persuasif untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta mengamankan investasi yang sudah ditanamkan pihak perusahaan. “Kita akan menempuh upaya hukum untuk menuntaskan masalah tersebut,” katanya. (bersambung).(adlis)


Konflik PT Arara Abadi-Masyarakat, Perseteruan Akibat Lemahnya Penegakan Hukum


http://www.metroriau.com/?q=node/2165
http://serikat-tani-riau.blogspot.com/2008/03/konflik-pt-arara-abadi-masyarakat_18.html

Berita soal perambahan kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Arara Abadi menjadi areal perkebunan yang dikelola secara terorganisir di Kabupaten Bengkalis, jadi topik yang cukup hangat dibicarakan.

Menuju kawasan HTI di Desa Tasik Serai Timur, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, tidaklah susah. Sebab, kawasan tersebut tidak pernah sepi dari aktivitas. Lalu lintas dan bisingnya deru truk pengangkut sawit milik PT ADEI menjadi sebagian kecil pemandangan yang
menggambarkan hiruk pikuknya kehidupan di areal yang jauh dari pemukiman penduduk itu.

Bayangan akan hijau dan teduhnya pepohonan sama sekali tak tergambarkan di kawasan hutan areal HTI itu. Di Dusun Tasik Serai Timur, tepatnya di sepanjang Km 42 hingga Km 47 Areal Distrik Duri II misalnya. Sekitar 800 hektar habis dibabat untuk dijadikan areal perkebunan sawit. Di lokasi ini juga terlihat sebuah perkampungan, layaknya perkampungan Transmigrasi.

Menurut pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), PT Arara Abadi, dulunya di sepanjang jalan kawasan HTI ini, tampak rindang dengan tanaman eucalyptus yang berumur 2 hingga 3 tahun. Namun, sejak isu kemiskinan dan tanah ulayat dicuatkan ke permukaan, perlahan tapi pasti pepohonan yang berada di atasnya satu persatu ditebangi.

Informasi tentang pembabatan itu ada benarnya. Hal itu mulai terlihat saat memasuki kawasan HPHTI PT Arara Abadi yang berbatasan dengan perkebunan sawit milik PT Adei. Sebuah pos pengaman yang dibuat dari kontainer nampak masih berdiri kokoh. Pos ini dulunya ditempati oleh petugas PT Arara Abadi. Namun setelah terjadi penyerangan dan dibakar oleh massa yang bersenjatakan parang, pos yang sempat di pos line oleh polisi ini akhirnya dibiarkan kosong melompong.

Hingga Sabtu (15/03/2008), aktivitas penebangan pohon-pohon eucalyptus oleh kelompok masyarakat yang di back up Serikat Tani Riau (STR), sebuah organisasi yang massa, masih berlangsung di areal HTI ini. Dan tanpa ragu juga mereka mendirikan pondok-pondok yang tiangnya dibuat dari batang-batang eucalyptus. Pondok-pondok yang masih berbentuk kerangka ini didirikan di pinggir-pinggir jalan utama dengan jarak 300 meter.

Layaknya sebuah perkampungan Transmigrasi, untuk bisa masuk ke kawasan perkampungan ini, kita harus melewati pos penjagaan yang dilengkapi portal yang bahannya diambil dari pohon eucalyptus. Setidaknya ada dua portal dan satu gapura besar yang dijaga beberapa orang pria.

“Untuk mengamankan lokasi itu, mereka membentuk Satgas berbaret merah. Satgas untuk setiap saat berpatroli layaknya aparat keamanan,” ucap sumber kepada wartawan.

Melihat pemandangan yang cukup menarik ini, saat itu ada keinginan untuk memasuki kawasan perkampungan di areal HTI milik PT Arara Abadi ini. Namun, dengan berbagai mempertimbangkan, diantaranya adalah konflik antara penyuplai bahan baku bagi PT Indah Kiat Pulp and Paper masih memanas, akhirnya rencana itu dibatalkan.

“Mobil Ranger seperti ini sudah mereka cap sebagai milik perusahaan. Sebaiknya, kita tidak usah masuk ke perkampungan itu,” kata sumber yang menuturkan perkataan rekannya yang ikut menelusuri perkampungan itu dari jarak sekitar 500 meter.

Berdasarkan laporan PT Arara Abadi, total areal HTI yang sudah disulap menjadi perkampungan dan perkebunan sawit itu luasnya mencapai sekitar 800 hektar. Perusahaan ini memperkirakan perambahan itu akan berlangsung seiring dengan dicuatkannya isu-isu tanah ulayat, izin pengelolaan yang sudah habis, serta isu kemiskinan oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.

Sehingga tak heran, selama 30 menit menelusuri jalan menuju camp PT Arara Abadi, yang terlihat adalah pekerja-pekerja yang tengah membabat pohon, pembersihan dan penyemprotan lahan untuk dijadikan areal perkebunan sawit. Di lokasi ini juga dapat ditemukan truk-truk pengangkut pupuk untuk dibagi-bagikan kepada para pekerja. Padahal, lokasi yang mereka kerjakan masih berstatus quo.

Kepastian Hukum

Investasi sangat penting untuk menggerakkan perekonomian nasional sekaligus daerah yang pada gilirannya akan mampu menciptakan kesejahteraan bangsa. Otonomi daerah menjadi momentum berharga untuk membuktikan diri bahwa daerah memiliki kemampuan tangguh dalam mengelola potensi ekonominya. Kunci keberhasilan dalam menarik investor adalah adanya kepastian hukum.

Disadari, kehadiran perusahaan HPH yang mengelola dan mengusahakan areal hutan telah membawa kontribusi yang nyata bagi jalannya Pembangunan Nasional. Tegakan hutan yang pada awalnya tidak bernilai ekonomis, setelah dipanen, diolah, dan diekspor ternyata mendatangkan devisa yang cukup besar.

Selain itu, pengenaan berbagai iuran dan pungutan kehutanan (DR, IHH) terhadap setiap meter kubik log yang dihasilkan, telah berperan besar dalam mewujudkan program rehabilitasi kawasan hutan non-produktif, pembangunan hutan baru, maupun pembangunan wilayah setempat.

Dari segi penciptaan lapangan kerja, perusahaan HPH maupun industri pengolahnya juga telah memberi andil dalam menekan tingkat pengangguran, baik melalui penciptaan lapangan kerja maupun kesempatan berusaha hasil multiplier effect yang ditimbulkan.

Sayangnya, kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan HTI dengan menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dalam praktik dapat menjadi kontra produktif. Karena kebijakan yang tidak konsisten dan tata kelola pemerintahan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang bisa menyebabkan iklim usaha tidak kondusif.

Di Riau, diakui atau tidak, isu kemiskinan dan tanah ulayat seringkali menjadi sandungan masuknya investasi. Sikap pemerintah daerah kurang tegas yang lebih banyak diam, dan tidak adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum menimbulkan ketidakpercayaan investor. PT Arara Abadi mungkin bisa menjadi salah satu contoh korban ketidakpastian hukum akibat ketidaktegasan pemerintah dan aparat penegak hukum di negeri ini.

Tak salah jika kemudian muncul anggapan, iklim investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Dan tak salah pula, Indonesia sekarang ini sudah bukan menjadi tujuan utama bagi investor asing. Para investor yang sudah mengenal Indonesia pun malah cenderung menghindari negeri ini.

Kondisi ini diperparah oleh korupsi yang merebak di mana-mana, di berbagai level. Sebagai gambaran, untuk memperlancarkan proses perizinan, seorang investor terpaksa harus menyerahkan sejumlah uang. Bahkan tidak jarang, setelah menerima uang, permintaan investor tidak segera diselesaikan. Regulasi di Indonesia hingga saat ini memang dinilai masih sangat lemah.

Kelemahan regulasi ini nyaris mencakup semua aspek. Regulasi yang lemah menyebabkan ketakpastian hukum dan menyebabkan pungutan liar, merebaknya tindak korupsi, perampasan lahan dengan mengatasnamakan tanah ulayat, kemiskinan dan isu-isu yang tidak populis lainnya.

Namun sayangnya, kepastian hukum hingga sekarang masih juga belum terbenahi dengan baik yang pada akhirnya justru sangat menghambat masuknya investasi. Selain itu, konsepsi Ketahanan Nasional dengan mengutamakan keseimbangan antara pengaturan dan penyelenggaraan keamanan di satu pihak dan kesejahteraan masyarakat di lain pihak, juga masih terabaikan. (tamat/adlis)
Liputan Media Dalam Perayaan Satu Tahun SEGERA


Berikut ini adalah liputan beberapa media pada saat ribuan petani anggota Serikat Tani Riau, jaringan Komite Pimpinan Pusat Serikat tani Nasional di Riau, mengadakan perayaan 1 [satu] tahun berdirinya Sentral Gerakan Rakyat Riau [SEGERA] pada Rabu [16/01/08] sampai Kamis [17/01/08] sebagai wadah aliansi perjuangan rakyat.

-------

http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=17321

Jum’at, 18 Januari 2008 15:37
AJAR Ingatkan STR tak Paksakan Kehendak Soal Sengketa Lahan

Tindakan STR membabat pohon Akasia dan menduduki sejumlah lahan HTI PT. Arara Abadi merupakan tindakan memaksakan kehendak. AJAR mengingatkan agar STR ikuti ketentuan hukum soal sengketa lahan.

Riauterkini-PEKANBARU- Sebuah LSM bernama Anak Jati Riau atau AJAR merisaukan sepak terjang Serikat Tani Riau (STR) dalam mengadvokasi masyarakat dalam kasus sengketa lahan dengan PT. Arara Abadi (AA). Tindakan massa STR membabat pohon Akasia lantas menduduki sejumlah lahan PT.AA dinilai sebagai upaya memaksakan kehendak dan melanggar hukum yang berlaku.

"Kita bersimpati kepada masyarakat yang memang lahannya diserobot perusahaan, itupun jika memang masyarakat memiliki bukti kepemilikan ahan yang sah atau ada tanda-tanda pernah mendiami kawasan yang disengketakan, tetapi melakukan cara-cara menebang pohon kemudian menduduki lahan, itu tidak lagi bisa dibenarkan," ujar Ketua AJAR Mahdor Bakri kepada wartawan dalam jumpa pers di Pekanbaru, Jumat (18/1).

Dikatakan Mahdor, Indonesia merupakan negara hukum, setiap rakyat harus tunduk dan patuh pada ketentuan hukum. Tidak boleh memaksakan kehendak dalam mencapai keinginan. "Kalau langkah seperti STR dibiarkan, kami pun bisa melakukan, mengerahkan massa untuk mengklaim kawasan tertentu dan langsung menduduki, tetapi itu kan melanggar hukum dan berbahaya," tukasnya.

Selain itu, AJAR menilai perjuangan STR mulai tidak murni membela masyarakat, namun bernuansa politik. Hal itu terlihat saat kegiatan Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA) di mana STR ada di dalamnya, muncul seruan agar jangan memilih salah satu kandidat yang berkemungkinan akan maju.

"Ini salah satu bukti bahwa apa yang diperjuangkan tidak lagi murni untuk rakyat kecil akan tetapi sangat kental dengan muatan politik praktis untuk mendukung salah satu kandidat calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilkada yang akan datang. Jangan memanfaatkan kesengsaraan masyarakat untuk kepentingan pribadi, ini sangat kotor dan tidak adil," kritik Mahdor.

Menyikapi masalah kasus sengeketa lahan yang diusung STR, Mahdor menyarankan sejumlah langkah, antara lain agar Pemda Bengkalis/Pemprov Riau agar mendata ulang siapa saja yang tidak mempunyai kampong tersebut, karena kita serbagai anak Watan Melayu Riau merasa gelisah, ternyata masih ada masyarakat Riau yang tidak mempunyai perkampungan, kedyua kepada Kepolisian agar benar-benar adil dalam menyikapi masalah ini. Apa bila masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan adil dan bijaksana, maka dalam waktu yang tidak lama pula anak Watan Riau yang lain akan menebang atau membuat perkampungan pula, entah perusahaan manapula yang akan dijadikan perkampungan. Jika bicara hak, sudah barang tentu semua anak Watan Riau ini berhak pula, bukan cuma sebahagian masyarakat yang bergabung di Serikat Tani Riau (STR) saja.

Sebagai penutup keterangannya, Mahdor yang ketika itu didampingi sejumah pengurus AJAR seperti Risnaldi dan Syafri mengingatkan STR agar dalam menuntut keadilan tidak berbuat dholim kepada pihak lain.***(mad)

-------

http://www.riauterkini.com/politik.php?arr=16976

Sabtu, 15 Desember 2007 19:07

Konflik Warga-PT AA, DPD Siap Fasilitasi Rekomendasi Pelepasan Kawasan Konflik

Untuk menghentikan konflik solusinya adalah pihak pemerintah dan perusahaan memberikan rekomendasi pelepasan kawasan untuk dialihfungsikan ke kebun sawit untuk warga. Anggota DPD-RI dapi Riau, Intsiawati Ayus siap memfasilitasinya ke pusat.

Riauterkini-PEKANBARU-Terkait dengan penyelesaian konflik antara warga dengan PT Arara Abadi, Anggota DPD-RI dapil Riau, Intsiawati Ayus kepada Riauterkini sabtu (15/12) menyatakan bahwa penyelesaian konflik adalah dengan memberikan rekomendasi pelepasan kawasan dari perijinan HTI PT AA untuk dialihfungsikan ke kebun sawit rakyat.

"Jika pihak pemerintah daerah dan perusahaan mau dan memiliki niat, tentu tidak ada salahnya melepaskan kawasan yang memang tanah ulayat itu kepada warga. Tentu dengan memberikan rekomendasi secara berjenjang untuk mengembalikan lahan yang diklaim warga sebagai tanah ulayat kepada negara dan dialihfungsikan untuk kebun rakyat. Karena hal itu akan dapat mensejahterakan perekonomian rakyat di kawasan tersebut," ungkapnya.

Menurutnya, jika memang pemerintah atau perusahaan mau merekomendasikan kawasan yang diklaim warga untuk dikembalikan kepada negara selanjutnya dialihfungsikan menjadi kebun sawit rakyat, maka ia bersedia memfasilitasi rekomendasi itu ke Menhut RI.

Karena bagaimanapun juga, klaim warga atas tanah itu semata-mata adalah untuk kesejahteraan warga juga. Katanya, pengelolaan lahan ulayat oleh warga selain dapat mensejahterakan warga juga pengelolaannya sangat bijaksana dan ramah lingkungan.

Riau Tak Concern Pemetaan Tanah

Terkait dengan hal itu, salah satu solusi yang bisa diambil pemerintah provinsi Riau menurut Intsiawati Ayus adalah melakukan road maping (pemataan lahan). Karena isu itu sudah menjadi isu global pada skala internasional.

"Dalam Un Climate Change Conference di Bali, isu road maping sudah mejadi isu internasional. Kemudian isu itu juga ditangkap oleh pemerintah Indonesia untuk dilaksanakan di daerah-daerah Indonesia. Namun sayangnya Riau tidak menampakkan minat untuk melaksanakannya," tambahnya.

Untuk itu ia mendesak pemerintah provinsi Riau untuk segera melaksanakan isu road maping di kawasan Riau. Tentunya agar ada kejelasan status kawasan. Terutama kejelasan bagi warga. ***(H-we)

-------

http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=17303

Kamis, 17 Januari 2008 15:05
Pemprov Riau-SEGERA Sepakat Ikuti Saran Menhut

Aksi demo lebih 1.000 massa SEGERA berakhir. Menyusul kesepakatan hasil pertemuan perwakilan SEGERA dengan perwakilan Pemprov Riau. Keduanya sepakat mengikuti saran Menhut menuntaskan persoalan lahan.

Riauterkini-PEKANBARU- Pemprov Riau merespon aksi unjuk rasa sekitar 1.500 massa Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA) dengan mengundang 13 perwakila pengunjuk rasa untuk berunding dan berdialog. Dari Pemprov Riau diwakili Kepala Badan Informasi Komunikasi dan Kesatuan Bangsa (BIKKB) Riau Siad Amir Hamzah, Wakil Kadis Kehutanan Riau, dan Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau Andreas Ginting. Pertemuan dilangsungkan di Ruang Kemuning Kantor Guberur Riau, Kamis (17/1).

Dalam pertemuan tersebut, Said Amir Hamzah selaku pimpinan rapat memberi kesempatan kepada perwakilan SEGERA untuk memaparkan masalah yang menjadi pokok tuntutan. Ketua DPP Serikat Tani Riau (STR) yang merupakan komponen SEGERA Riza Zulhelmi menjad pembicara pertama SEGERA. Kemudian disusul Ketua Umum SEGERA Dendy Aryadi. Setelah itu berturut-turut perwakilan massa dari Desa Mandiangin, Kabupaten Siak bernama Gendon. Kemudian perwakilan dari Desa Tasik Serai, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis bernama Hamsyuri.

Selanjutnya perwakilan massa dari Desa Pantai Cermin, Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar bernama Erikson Ritonga. Tiga pembicara terakhir adalah masyarakat asli Sakai dari Desa Suluk Bongkal bernama Rasyidin, dari Desa Belutu bernama Bachtiar dan dari Desa Minas Barat bernama Eli Rosmi.

Dari pemaparan para perwakilan SEGERA tersebut, terungkap bahwa mereka menanyakan hasil pemetaan lahan PT. Arara Abadi yang telah dianggarkan dalam APBD Riau 2007 sebesar Rp 9 miliar. Selain itu juga terungkap bahwa seluruh lahan yang dituntut massa SEGERA di tiga kabupaten, yakni Kampar, Siak dan Bengkalis adalah 67.800 hektar dan seluruh merupakan konsesi lahan HTI PT. Arara Abadi.

Menjawab masalah pemetaan lahan yang dianggarkan Rp 9 miliar, Said mengatakan, bahwa yang dimaksud pemetaan lahan, tidak hanya untuk PT. Arara Abadi yang bersengketa dengan SEGERA, namun juga seluruh lahan yang telah dikonsesikan kepada perusahaan di Riau. "Jadi tidak hanya lahan PT. Arara Abadi, melainkan seluruh lahan yang bermasalah antara masyarakat dan perusahaan. Artinya pemetaan tersebut sudah dilakukan, namun belum selesai," paparnya.

Jawaba Said tersebut sempat membuat perwakilan SEGERA protes, karena menurut mereka pemetaan tersebut dilakukan sebagai respon tuntutan SEGERA. Namun kemudian setelah Kepala Kanwil BPN Riau Andreas Ginting menjelaskan masalah adanya petunjuk dari Menteri Kehutanan MS Kaban melalui SK No.S.319/Menhut-VI/2007 tertanggal 15 Mei 2007, mengenai persetujuan pemetaan lahan dilakukan Pemprov Riau yang kemudian untuk menentukan mana saja lahan yang perlu diinklav diserahkan kepada bagian planologi Departemen Kehutanan, massa kemudian merasa puas.

"Selama 27 tahun saya bekerja di Riau ini baru kali ini ada surat dari Menhut yang memberikan kewenangan kepada gubernur untuk melakukan pemataan lahan yang bermasalah, meskipun kemudian hasil pemetaan harus diserahkan kepada bagian Platologi Departemen Kehutanan," ujar Andreas.

Selain itu, Adreas juga menegaskan, bahwa bukti kepemilikan lahan warga tak harus berupa surat, namun juga berupa bukti fisik, seperti adanya makam leluhur, tanaman dan bukti kesaksian. Dalam SK Menhut tersebut juga ditegaskan, bahwa kepemilikan lahan dibawah tahun 1996 harus dikeluarkan dari kawasan konsesi perusahaan.

Atas penjelasan tersebut perwakilan massa SEGERA bisa menerima dan sepakat menyerahkan hasil pemetaan kepada Menhut. "Kita menilai hasil pertemuan tersebut juga memuaskan. Kita tinggal menunggu tindak lanjutnya," ujar Riza Zulhelmi kepada riatuerkini usai pertemuan.

Setelah merasa puas dengan hasil pertemua, massa SEGERA akan membubarkan aksi untuk selanjutnya kembali ke daerah masing-masing dengan tertib.***(mad)

-------

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/01/17/brk,20080117-115666,id.html

Ribuan Warga Tuntut Sinar Mas Group Kembalikan Lahan
Kamis, 17 Januari 2008 | 16:29 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sedikitnya seribu massa yang tergabung dalam Sentral Gerakan Rakyat Riau (Segera) melakukan unjuk rasa di Pekanbaru, Kamis (17/1). Massa memblokir pintu gerbang kantor Gubernur Riau di Jalan Sudirman, Pekanbaru, untuk menuntut pengembalian lahan masyarakat seluas 60 ribu hektar yang diserobot PT Arara Abadi, anak perusahaan Sinar Mas Group.

Sejak pukul 10.30 WIB, massa yang berasal dari Kabupaten Bengkalis, Siak dan Kabupaten Kampar itu langsung menuju pintu gerbang utama Kantor Gubernur Riau. Mereka menenteng berbagai spanduk diantaranya bertuliskan "Kembalikan lahan rakyat", "Gubernur Riau Rusli Zainal Agen Lahan", "Pemerintah Jadi Calo Lahan Untuk Kongklomerat.

Setelah sempat saling dorong dengan polisi dan pamong Praja karena massa ingin memasuki kantor gubernur, akhirnya massa hanya berdemo didepan pintu gerbang Utama. "Kami sudah muak dengan janji janji Pemerintah yang akan melakukan pengukuran ulang dan mengembalikan lahan yang diserobot. Kami minta agar Sinar Mas Group mengembalikan lahan warga, "ujar Koordinator Lapangan Aksi, Riza Zulhelmi, Kamis (17/1)

Menurut Riza, yang juga Sekretaris Umum Segera ini, tuntutan masyarakat sudah berlangsung sejak lima tahun lalu. Waktu itu PT Arara Abadi, dengan dalih izin yang dimilikinya menyerobot lahan warga. Lahan itu, masing masing 22.000 hektar di Kabupaten Siak, 20.200 hektar di Kabupaten Bengkalis dan 12.500 hektar di Kabupaten Kampar. Lahan yang sudah ditanami sawit oleh penduduk, kata Riza, diambil paksa dan diganti dengan akasia untuk HTI. "Dulu semua takut, tapi sekarang sudah habis kesabaran kami, "kata Riza Zulhelmy.

Menanggapi aksi demo itu, Humas PT Indah Kiat Pulp Paper, Nazaruddin tidak bersedia berkomentar banyak. Menurutnya, perusahaannya legal, memiliki perizinan sesuai ketentuan perundangan. " Mana mungkin perusahaan mendirikan usahanya di atas lahan orang lain. Kami memiliki izin sebagaimana yang diatur undang undang, "ujar Nazaruddin.

Jupernalis Samosir

-------

http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=17281

Rabu, 16 Januari 2008 14:51
Seribuan Massa Hadiri HUT Perdana SEGERA

Peringatan HUT perdana SEGERA akhirnya sukses digelar. Namun dari 3.000 target massa, hanya sekitar 1.500 yang datang. Hadir juga seorang anggota DPD RI dan DPRD Riau.

Riauterkini-PEKANBARU- Setelah sempat tak diberikan izin oleh kepolisian, akhirnya Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA) berhasil juga menggelar peringatan hari ulang tahun (HUT) perdana di GOR Senapelan di Jalan Ahmad Yani Pekanbaru, depan kantor Poltabes Pekanbaru, Rabu (16/1).

Peringatan HUT diawali sekitar pukul 14.30 WIB ditandai dengan kehadiran anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Istiawati Ayus, anggota DPRD Riau Edy Ahmad RM, Ketua DPP Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) Dita Indah Sari, dan ketua SEGERA Rinaldi. Sementara massa yang hadir diperkirkaan 1.500 orang.

Dari pantuan riauterkini di lapangan, tidak terlihat adanya penjagaan ketat dari polisi pada acara tersebut, bahkan nyaris tak terlihat polisi berpakaian seragam ditugaskan melakukan penjagaan. Meskipun demikian, situasi nampak tertib dan terkendali. Seluruh massa sudah berada dalam GOR Senapelan mendengarkan pengarahan dari sejumlah simpul lapangan. Kekawatiran akan terjadi kemacetan di Jalan Ahmad Yani sejauh ini tidak terbukti. Arus lalu-lintas terlihat lancar.

Sekitar 1.500 massa terdiri dari wanita dan pria berbagai umur tersebut berasal dari sejumlah daerah, seperti Mandau di Kabupaten Bengkalis dan Pantai Cermin di Kabupaten Kampar. Massa SEGERA merupakan masyarakat yang mengaku menjadi korban penyerobotan lahan oleh sejumlah perusahaan besar. Sampai saat ini kegiatan masih berlangsung.***(mad)



Siaran Pers Sentral Gerakan Rakyat Riau
S I A R A N P E R S
Nomor: B/PR/SEGERA/I-08/36

24 Januari 2008 mendatang, perjuangan Sentral Gerakan Rakyat Riau (SEGERA) guna mengembalikan lagi hak-hak pengelolaan sumber daya alam ke tangan rakyat genap berusa 1 tahun. Perjuangan yang dicikal-bakali oleh Komite Perjuangan Pembebasan Tanah Rakyat Riau (KP2TR2) ini telah meyakinkan kepada sebagian besar rakyat korban penjajahan neoliberal, bahwa mobilisasi-mobilisasi rakyat adalah cerminan sejati pencapaian kemenangan perjuangannya. Perjuangan rakyat tanpa mobilisasi umum adalah nol besar. Dan mobilisasi umum tanpa kesadaran politik massa aksi adalah gerombolan yang gampang dikalahkan!

(Rinaldi, Ketua Umum SEGERA Periode Januari-Agustus 2007)

1 Tahun Perjuangan SEGERA; Bangun Persatuan Rakyat, Basmi 3 Parasit Ekonomi Rakyat: Koruptor, Perusahaan Maling Kayu, dan Perampas Tanah Rakyat!

Salam Pembebasan!

1 tahun perjuangan SEGERA dalam memenangkan konflik agraria untuk rakyat di Riau setidaknya telah membuktikan kepada sekalian rakyat yang menyaksikan, bahwa pemerintahan SBY - KALLA benar-benar tidak mempunyai konsep penyelesaian konflik yang menguntungkan rakyat. Yang ada malahan kepengecutannya terhadap kaum pemilik modal besar, maka pantaslah dia disebut dengan kakitangan - antek - imperialisme neoliberal dalam negeri. Hal ini diteruskan dengan watak pro-modal Rusli Zainal sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan di Riau. Bukan malah menuntaskan konflik agraria yang mengedepankan kepentingan kaum tani atau rakyat, tapi malahan memperluas kekuasaan pemilik modal luar negeri dengan Riau Investment Submit (RIS), konsolidasi pemilik modal luar negeri.
Kaplingan tanah mana lagi yang akan diperuntukkan bagi pemilik-pemilik modal tersebut? Sementara itu, program Kebodohan Kemiskinan, dan Infrastruktur (K2I) yang katanya akan mendistribusikan tanah-tanah untuk perkebunan/pertanian rakyat Riau hanya menjadi lukisan indah tanpa kanvas. Ya, program mulia tersebut tidak berjalan, karena memang tidak ada lahan yang hendak dibagikan kepada rakyat. Lahan di Riau sebhagian besar sudah diabdikan kepada perusahaan-perusahaan besar, dan sebagian kecilnya lagi berkonflik dengan perusahaan-perusahaan atau intansi pemerintahan. Hal inilah yang menguatkan keyakinan SEGERA bahwa, jika Pemerintahan Rusli Zainal tidak berani mencabut rekomendasi yang pernah digunakan untuk dikeluarkannya SK Menhut no. 743 tahun 1996, atau menyatakan bahwa seluruh tanah konflik akan diserahkan pengelolaannya kepada rakyat, atau memberikan lahan perkebunan/pertanian alternative, atau mendukung kami untuk mengambil kembali lahan-lahan kebun, perkuburan nenek moyang, desa, dusun, dan seluruh milik kami yang sudah diambil paksa oleh perusahaan-perusahaan besar, termasuk di dalamnya PT. Arara Abadi, maka jangan salahkan rakyat nantinya jika Rakyat mengambil secara paksa apa yang mereka punya dari tangan kaum pemilik modal.

Bahwa konflik agraria berkepanjangan antara rakyat dengan PT. Arara Abadi adalah sebahagian kecil persoalan tanah yang ada di Riau, apalagi Indonesia. Persoalan ini kemudian sadar atau tidaknya memunculkan aspek-aspek lain, seperti Korupsi dan Pemalingan Kayu oleh kaum pemilik modal untuk memperluas lahan produksinya, meningkatkan hasil, lalu kemudian melipatgandakan modal. Intinya, tiga soalan ini - Koruptor, Perusahaan Maling Kayu, dan Perampas Tanah Rakyat - kami sebut dengan parasit ekonomi rakyat Riau, yang akan menganggu stabilitas ekonomi dan tentunya merugikan Negara sangat besar. Dari itu, tahun 2008 akan kami deklarasikan sebagai tahun persatuan rakyat untuk membasmi 3 parasit ekonomi rakyat Riau.

Tiga Parasit Ekonomi Rakyat Riau

Tiga parasit ekonomi rakyat Riau ini sebenarnya benalu yang menempel di tubuh ekonomi bangsa yang tidak mandiri. Hal ini disebabkan karena factor kebijakan ekonomi nasional yang masih bersandarkan kepada perputaran modal secara bebas dan tidak terkendali, serta semakin kecilnya ruang penguasaan asset-aset produksi fundamen oleh Negara.

Dalam kasus dugaan korupsi (Parasit pertama), misalnya Dalam sebuah harian local, Riau Mandiri edisi Selasa (10/04/07), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan lembaganya telah menerima sebanyak 553 laporan pengaduan masyarakat di Provinsi Riau terkait dugaan tindak pidana korupsi. Laporan tersebut diterima KPK sejak tahun 2004 dan untuk 2007 saja hingga bulan Maret, KPK telah menerima 40 pengaduan dari masyarakat. Meski demikian dari banyaknya pengaduan itu setelah ditelaah hanya 122 laporan atau 22,06 persen yang tergolong tindak pidana korupsi dan diteruskan kepada instansi yang berwenang. Instansi tersebut adalah kepolisian, kejaksaan, BPKP, Inspektorat Jenderal, BPK, Mahkamah Agung dan Bawasda. Erry Riyana mengungkapkan, dari 553 laporan dari Riau itu, sebanyak 11 laporan sedang ditelaah. Kemudian 8 laporan lainnya ditindaklanjuti internal KPK dan sebanyak 319 yang telah ditelaah tidak disampaikan kepada instansi berwenang antara lain karena bukan tindak pidana korupsi, kurang dilengkapi bukti awal, tanpa alamat pengadu. Selain itu sebanyak 93 laporan dikembalikan kepada pelapor untuk dimintakan keterangan tambahan. Dan yang mengejutkan lagi, menurutnya ada 18 ribu laporan yang masuk sejak KPK berdiri sejak akhir tahun 2003 dari seluruh provinsi di Indonesia, tidak hanya laporan tindak pidana korupsi yang masuk ke KPK, tapi juga ada juga laporan masalah perselingkuhan di keluarga, persaingan usaha, konflik di perusahaan dan lainnya.

Di Riau, beberapa kasus dugaan korupsi sejak awal tahun 2007 yang menarik perhatian adalah; dugaan korupsi Program Ekonomi Kerakyata (PEK) Kabupaten Kampar sebesar Rp. 43 Milyar, dugaan korupsi Dana Panitia Legislatif (Panleg) sebesar Rp. 3,5 Milyar, Dugaan Korupsi di Sekolah Menegah Atas (SMA) Plus sebesar Rp. 3,5 Milyar, dugaan Korupsi pembuatan kapal Laksmana sebesar Rp. 5,22 Milyar, dugaan korupsi pengadaan mobil kebakaran, dan lain sebagainya. Kasus-kasus yang mengemuka ini - walaupun tidak kami tuliskan secara komprehenship - menunjukkan bahwa, angka dugaan korupsi di Riau cukup tinggi. Dan bias dikatakan sangat kontraproduktif dengan program kerakyatan yang digembar-gemborkan oleh pemerintahan Rusli Zainal.

Beralih kepada parasit kedua, perusahaan pelaku illegal loging, menurut JIKALAHARI, Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, sekitar 3,3 juta hektar hutan alam di provinsi riau hilang. Musnahnya kawasan hutan alam ini disebabkan maraknya investasi sektor kehutanan dan perkebunan di Riau sejak era tahun 80-an serta aktivitas pembalakan liar (illegal logging). Hal ini ditengarai bahwa semasa rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia. Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.

Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya. Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI). Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir - diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain.

Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.

Aktifitas Eksploitasi ini dipastikan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung.

Menurut JIKALAHARI pada tahun 2001-2003 APP dan APRIL juga memanfaatkan secara maksimal kewenangan Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin HTI atau IUPHHK-HT dengan menggunakan mitra-mitranya untuk mendapatkan izin eksploitasi Hutan Alam. Bahkan hingga dicabutnya kewenangan Kepala Daerah pada awal 2002 melalui Kepmenhut 541/KPTS-II/2002 tanggal 21 Februari dan diperkuat dengan PP 34 tahun 2002 tanggal 8 juni 2002, mitra-mitra APP dan APRIL tetap mendapatkan izin-izin baru di atas Hutan Alam. JIKALAHARI mencatat ada 34 IUPHHK-HT yang masih dikeluarkan 4 bupati (Inhil, Inhu, Siak dan Pelalawan) dan Gubernur Riau sampai awal 2003. Izin ini jelas telah cacat Hukum, namun baik APP dan APRIL yang menerima kayunya maupun Kepala Daerah yang mengeluarkan Izin seolah-olah tutup mata, penebangan kayu alam terus berlanjut. Hingga pada tanggal 15 Januari 2005 Menteri Kehutanan M.S. Ka'ban mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 dan diteruskan dengan surat edaran ke Gubernur se Indonesia tanggal 25 Februari 2005 yang pada intinya menegaskan bahwa semua IPHHK-HT yang pernah dikeluarkan Kepala Daerah akan dilakukan Verifikasi mengingat kewenangan Kepala Daerah telah dicabut. Menjelang akhir tahun 2005 tim verifikasi bentukan Menteri Kehutanan ini dikabarkan telah turun ke kabupaten Pelalawan, namun apakah hasil verifikasinya menyatakan 21 IUPHHK-HT cacat hukum atau tidak hingga kini belum jelas.

Sementara itu, untuk parasit ketiga yaitu, ulah para perampas tanah rakyat, membuat kita dapat berfikir secara logis, bahwa sempitnya lahan produksi, yang mengakibatkan rakyat tidak sanggup lagi mempertahankan hidup secara layak. Rakyat Sialang Rimbun misalnya, hanya mampu mengonsumsi Ubi untuk makanan sehari-harinya, dan sedikit saja dari mereka yang sanggup membeli beras. Inilah hasil dari istilah Pembangunanisme kapitalisme-neoliberal yang dikoar-koarkan pemerintahan SBY-Kalla serta ditindaklanjuti oleh Rusli Zainal. Program-program palsu, lips servis, entah apalagi namanya. Pembangunan yang bisa dikatakan tidak mampu mengaliri sebagian desa di kecamatan Pinggir dengan listrik.

Sempitnya lahan pertanian yang mengakibatkan rendahnya pendapatan rakyat, seperti yang sudah kami tegaskan diatas, adalah hasil perasan dari kebijakan pemberian izin pengelolaan hutan/perkebunan secara besar-besaran, seperti PT. Arara Abadi, yang dalam catatan Human Rigth Wacth sudah banyak memakan korban. Mulai di kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak, hingga Bengkalis.

Inilah kemudian yang melahirkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat petani berbagai tempat di Riau. Untuk kasus PT. Arara abadi misalnya, sudah banyak korban yang berjatuhan seperti bentrokan antara rakyat angkasa, Balam Merah di Kabupaten Pelalawan dengan perusahaan yang merupakan bagian dari Sinar Mas Group (SMG) itu tahun 2001, kasus Mandiangin (Kab. Siak) tahun 20031, kasus kec. Pinggir2 (kab. Bengkalis) tahun 2005-2006, kasus Tapung (kab. Kampar) 2006, terbaru adalah kasus di Pinang Sebatang dan sei. Mandau (Akhir tahun 2006). Hal yang paling memiriskan dari kesimpulan pemerintahan di propinsi Riau adalah, selalu mengambil kebijakan stanvas bagi setiap kasus yang ada, bukan malah mengumpulkan data-data tersebut bagi alasan pencabutan SK Gubernur yang pernah dikeluarkan pada 9 Februari 1990. Dan kemudian, tahun 1996 Menteri Kehutanan pada tanggal 25 November 1996 mengeluarkan surat Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri seluas 299.975 ha di Riau kepada PT. Arara Abadi. Surat tersebut bernomor 743/kpts-II/1996 - di Jakarta, isinya menyebutkan bahwa, surat tersebut merupakan surat balasan perusahaan tersebut mengenai permohonan penyediaan lahan untuk perkebunan yang dikirimkan kepada Gubernur Riau pada 7 Oktober 1989 bernomor 57/AIP/UM/-DL/X/89. Hal inilah kemudian yang menjadi dasar konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan. Konflik yang memakan tanah adat, ulayat, perkebunan rakyat, bahkan hingga kepada samarnya batas desa, kampong, pekuburan, dan lain sebagainya.

Maka, untuk mendeklarasikan persatuan rakyat dalam membasmi 3 parasit ekonomi tersebut diatas, 16 Januari 2008 besok SEGERA akan menegaskan tuntutan utamanya, yaitu; Pemerintah Indonesia harus segera menguatkan fondasi ekonomi nasional dengan cara melakukan tiga hal yaitu; Hapuskan Utang Luar Negeri, Nasionalisasi Aset Tambang Asing, dan Bangun Industri (Pabrik) Nasional. Hal ini kami yakini sebagai haluan ekonomi baru yang tentunya hanya dapat dikerjakan oleh pemimpin-pemimpin baru. Jalan keluar tersebut mesti disokong dengan kekuatan rakyat Riau yang akan juga mendeklarasikan persatuan perjuangan dalam membasmi 3 parasit ekonomi rakyat; Koruptor, Perusahaan Maling Kayu, dan Parampas Tanah Rakyat! Sebagai turunan tuntutannya, kami menyuarakan:

1. Mendesak Menteri Kehutanan RI untuk segera mencabut - minimal meninjau ulang - SK Menhut No. 743/kpts-II/1996 tentang Pemberian Izin HPH/TI kepada PT. Arara Abadi
2. Mendesak Gubernur untuk segera Mencabut Rekomendasi Gubernur Riau (minimal meninjau ulang) Rekomendasi Gubri No. 525/BKPM/400 tahun 1990 tentang Persetujuan Penyediaan Lahan untuk Perkebunan ditujukan kepada PT. Aneka Intipersada. sebab Bupati/walikota daerah konflik agraria antara rakyat dengan PT. Arara Abadi tidak melakukan langkah kongkrit dalam menyelesaikan konflik antara rakyat dengan perusahaan tersebut. Hal ini tentunya sangat kontraproduktif dengan surat yang disampaikan Gubernur Riau kepada Bupati Bengkalis, Bupati Kampar, Bupati Pelalawan, Bupati Siak, Bupati Rokan Hilir, dan Walikota Pekanbaru tertanggal 8 Maret 2007 dengan nomor: 100/PH/14.06, perihal: Inventarisasi dan Rekonstruksi Areal HPH/TI PT. Arara Abadi
3. Ukur ulang seluruh lahan HPHTI PT. Arara Abadi di Riau!
4. Libatkan rakyat - utusan organisasi perjuangan rakyat - dalam tim penyelesaian konflik; 1) inventarisasi lahan konflik, 2) Pemetaan, serta 3) Proses pengembalian tanah rakyat berikut penjagaannya
5. Mendesak Polda Riau untuk menindak tegas pelaku kekerasan dan penggusuran sepihak yag masih kerap dilakukan oleh PT. Arara Abadi - 911 - di lahan konflik, serta memberikan ketegasan perlindungan dan penegakan hukum, terutama di lahan konflik
6. Kami juga mendesak Pemerintah Riau hingga kabupaten segera membangun sekolah, rumah sakit, jalan-jalan di desa, serta pengadaan listrik yang hingga sekarang belum bisa dinikmati oleh rakyat di daerah konflik. Untuk pembiayaan ini, kami menyerukan tuntutan Nasionalisasi asset tambang asing, seperti Chevron untuk pendidikan dan kesehatan gratis, Bangun Pabrik Industrialisasi nasional untuk jalan keluar pengangguran di desa-desa, dan hapuskan hutang luar negeri guna penghematan belanja Negara agar dapat membangun jalan, serta pengadaan listrik buat desa. Karena, masih banyak desa-desa terisolir seperti; Beringin, Melibur, Tasik Serai, Muara Basung, Minas Barat, Mandiangin, dll yang belum mendapatkan akses LISTRIK, JALAN ASPAL, serta minimnya fasilitas sekolah dan rumah sakit.

Secara Umum, SEGERA menuntut:

1. Turunkan Harga
2. Kesehatan dan Pendidikan Gratis Untuk Rakyat
3. Membuka Lapangan Pekerjaan
4. Memberantas Korupsi, dengan mendirikan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai tingkat kota
5. Menaikkan Upah Buruh Dengan Menetapkan Upah Minimum Nasional Sesuai Dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
6. Memberikan Subsidi Untuk Sarana Produksi Pertanian, Bantuan Teknologi Murah dan Modal/Kredit Modal Usaha Bagi Petani Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Kaum Tani.
7. Subsidi Untuk Perumahan Rakyat, Berupa Program Rumah Susun Yang Layak dan Sehat dan Disewakan Secara Murah.
8. Menggratiskan Seluruh Biaya Pengurusan Pembuatan Dokumen Negara, Yang Harus Dimiliki Oleh Warga Negara Sehubungan Dengan Kewarganegarannya
9. Memenuhi Kebutuhan Gizi Anak Hingga Usia 12 Tahun Secara Gratis.
10. Penyediaan Beras Murah Berkualitas Bagi Rakyat Dengan Memberikan Subsidi Harga Bagi Petani.
11. Penyelesaian Sengketa Agraria Yang Mengutamakan Keadilan dan Kesejahteraan Kaum Tani.
12. Menghapuskan Sistem Kontrak dan Outsourcing
13. Memberikan Jaminan Hukum Bagi Pekerja Sektor Informal (Pedagang Kaki Lima, Pengamen, dll)
14. Menaikkan Upah/Gaji Layak Nasional sebesar Rp. 1.250.000 hingga mencapai Rp.3.250.000 (tanpa kena pajak dan jaminan sosial), termasuk juga di dalamnya kenaikan upah prajurit rendah TNI/POLRI.
15. Hapus biaya siluman untuk kenaikan upah layak
16. Lapangan kerja bermartabat untuk seluruh angkatan kerja.
17. Tolak sistem buruh kontrak; Tolak Outsourching.
18. Pendidikan dan kesehatan gratis yang berkualitas untuk seluruh rakyat
19. Cabut UU. Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 2007

Demikian hal ini kami sampaikan. Semoga kemenangan Rakyat SEGERA menjelang!

BANGUN PERSATUAN GERAKAN RAKYAT, LAWAN INPERIALISME-NEOLIBERAL!

BASMI TIGA PARASIT EKONOMI RAKYAT RIAU; KORUPTOR, PERUSAHAAN MALING KAYU, PERAMPAS TANAH RAKYAT!

Pekanbaru, 16 Januari 2008

SENTRAL GERAKAN RAKYAT RIAU: [SERIKAT TANI RIAU; SERIKAT MAHASISWA RIAU; IKATAN PELAJAR MAHASISWA KEC. BENGKALIS - PEKANBARU; DPD I PARTAI PERSATUAN PEMBEBASAN NASIONAL - RIAU; DPW SERIKAT RAKYAT MISKIN KOTA - RIAU].



Pandangan STR Terhadap Kondisi Agraria di Riau


Serikat Tani Riau memandang bahwa kenyataan-kenyataan ekonomi negara kita masih terbelenggu oleh ketergantungan yang sangat besar dari pemodal asing. Secara kasat mata bisa kita lihat bersama penguasaan seluruh aset kekayaan alam negara kita – terutama di sektor tambang - oleh perusahaan-perusahaan asing yang berkepentingan mengeruk keuntungan dari kekayaan alam INDONESIA.

Lahan Luas untuk Pemilik Modal dan Konflik Agraria di Riau

Di Riau, rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia.

Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.

Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya.

Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI).

Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain

Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.

Aktifitas Eksploitasi ini dipastikan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung

Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam. APRIL misalnya, saat ini masih terus giat melobby Pemerintah untuk dapat menguasai Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang seluas 215.790 ha untuk dieksploitasi Kayu Alamnya.

Menurut JIKALAHARI pada tahun 2001-2003 APP dan APRIL juga memanfaatkan secara maksimal kewenangan Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin HTI atau IUPHHK-HT dengan menggunakan mitra-mitranya untuk mendapatkan izin eksploitasi Hutan Alam. Bahkan hingga dicabutnya kewenangan Kepala Daerah pada awal 2002 melalui Kepmenhut 541/KPTS-II/2002 tanggal 21 Februari dan diperkuat dengan PP 34 tahun 2002 tanggal 8 juni 2002, mitra-mitra APP dan APRIL tetap mendapatkan izin-izin baru di atas Hutan Alam. JIKALAHARI mencatat ada 34 IUPHHK-HT yang masih dikeluarkan 4 bupati (Inhil, Inhu, Siak dan Pelalawan) dan Gubernur Riau sampai awal 2003. Izin ini jelas telah cacat Hukum, namun baik APP dan APRIL yang menerima kayunya maupun Kepala Daerah yang mengeluarkan Izin seolah-olah tutup mata, penebangan kayu alam terus berlanjut. Hingga pada tanggal 15 Januari 2005 Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 dan diteruskan dengan surat edaran ke Gubernur se Indonesia tanggal 25 Februari 2005 yang pada intinya menegaskan bahwa semua IPHHK-HT yang pernah dikeluarkan Kepala Daerah akan dilakukan Verifikasi mengingat kewenangan Kepala Daerah telah dicabut. Menjelang akhir tahun 2005 tim verifikasi bentukan Menteri Kehutanan ini dikabarkan telah turun ke kabupaten Pelalawan, namun apakah hasil verifikasinya menyatakan 21 IUPHHK-HT cacat hukum atau tidak hingga kini belum jelas.
Secara logis, sempitnya lahan produksi, yang mengakibatkan rakyat tidak sanggup lagi mempertahankan hidup secara layak. Rakyat Sialang Rimbun misalnya, hanya mampu mengonsumsi Ubi untuk makanan sehari-harinya, dan sedikit saja dari mereka yang sanggup membeli beras. Inilah hasil dari istilah Pembangunanisme kapitalisme-neoliberal yang dikoar-koarkan pemerintahan SBY-Kalla serta ditindaklanjuti oleh Rusli Zainal. Program-program palsu, lips servis, entah apalagi namanya. Pembangunan yang bisa dikatakan tidak mampu mengaliri sebagian desa di kecamatan Pinggir dengan listrik.

Sempitnya lahan pertanian yang mengakibatkan rendahnya pendapatan rakyat, seperti yang sudah kami tegaskan diatas, adalah hasil perasan dari kebijakan pemberian izin pengelolaan hutan/perkebunan secara besar-besaran, seperti PT. Arara Abadi, yang dalam catatan Human Rigth Wacth sudah banyak memakan korban. Mulai di kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak, hingga Bengkalis.

Inilah kemudian yang melahirkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat petani berbagai tempat di Riau. Untuk kasus PT. Arara abadi misalnya, sudah banyak korban yang berjatuhan seperti bentrokan antara rakyat angkasa, Balam Merah di Kabupaten Pelalawan dengan perusahaan yang merupakan bagian dari Sinar Mas Group (SMG) itu tahun 2001, kasus Mandiangin (Kab. Siak) tahun 2003, kasus kec. Pinggir (kab. Bengkalis) tahun 2005-2006, kasus Tapung (kab. Kampar) 2006, terbaru adalah kasus di Pinang Sebatang dan sei. Mandau (Akhir tahun 2006). Hal yang paling memiriskan dari kesimpulan pemerintahan di propinsi Riau adalah, selalu mengambil kebijakan stanvas bagi setiap kasus yang ada, bukan malah mengumpulkan data-data tersebut bagi alasan pencabutan SK Gubernur yang pernah dikeluarkan pada 9 Februari 1990.

Dan kemudian, tahun 1996 Menteri Kehutanan pada tanggal 25 November 1996 mengeluarkan surat Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri seluas 299.975 ha di Riau kepada PT. Arara Abadi. Surat tersebut bernomor 743/kpts-II/1996 - di Jakarta, isinya menyebutkan bahwa, surat tersebut merupakan surat balasan perusahaan tersebut mengenai permohonan penyediaan lahan untuk perkebunan yang dikirimkan kepada Gubernur Riau pada 7 Oktober 1989 bernomor 57/AIP/UM/-DL/X/89. Hal inilah kemudian yang menjadi dasar konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan. Konflik yang memakan tanah adat, ulayat, perkebunan rakyat, bahkan hingga kepada samarnya batas desa, kampong, pekuburan, dan lain sebagainya.

Konflik Antara Masyarakat Riau di beberapa Kabupaten dengan PT. Arara Abadi; Sebuah Catatan Penting

Menurut data yang disampaikan oleh Human Rigth Watch pada 20 Februari 2001 lalu, bahwa Asia Pulp & Paper dari Sinar Mas Group telah memimpin pertumbuhan yang luar biasa ini sebagai produsen terbesar di Indonesia, menghasilkan setengah dari seluruh produksi pulp dan seperempat dari kertas di negara ini. Dengan total kapasitas pulp saat ini sebesar 2,3 juta metrik ton dan kapasitas pengemasan sebesar 5,7 juta metrik ton, Indonesia menempati urutan pertama di antara negara-negara Asia selain Jepang, dan urutan kesepuluh dalam produksi dunia, setelah raksasa-raksasa seperti International Paper, Enso, Georgia Pacific dan UPM Kymmene. Berkantor pusat di Singapura, saat ini APP memiliki 16 fasilitas pabrik di Indonesia dan Cina dan memasarkan produknya di lebih dari 65 negara di enam benua. Pabrik APP Indah Kiat di Perawang, Riau, adalah salah satu dari dua pabrik kertas terbesar di dunia. Indah Kiat sendiri memiliki kapasitas produksi sebesar 2 juta ton pulp dan 1,5 juta ton kertas per tahun, yang telah meningkat pesat dari hanya 120.000 ton pada tahun 1989.

Serat kayu untuk pabrik Indah Kiat dipasok oleh Arara Abadi, yang adalah anak perusahaan Sinar Mas Group, konglomerat yang memiliki APP. Arara Abadi adalah salah satu perkebunan kayu pulp terbesar di Indonesia, yang menguasai konsesi 300.000 hektar di Riau. Peralihan hak atas lahan masyarakat tanpa proses seharusnya atau tanpa ganti rugi yang adil dan tepat waktu merupakan faktor utama yang mendorong perselisihan dan kekerasan antara Arara Abadi dan masyarakat sekitarnya.

Peraturan pemerintah provinsi yang dibuat bahkan pada saat awal pengembangan konsesi perkebunan mengharuskan lahan yang digunakan untuk usahatani masyarakat dan produksi karet dikeluarkan dari areal kerja HTI. Tahun lalu, sebuah survei telah dilaksanakan di kecamatan Bunut (Kabupaten Pelalawan, di mana desa Betung, Angkasa dan Belam Merah berada. Lihat Peta B) oleh tim gabungan yang terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk perwakilan dari pemerintah lokal, berbagai LSM, para pemimpin masyarakat lokal, dan Arara Abadi, untuk menentukan luas lahan di dalam kawasan HTI yang diklaim oleh masyarakat lokal. Meskipun areal yang diteliti hanya sebagian kecil saja dari kawasan milik Arara Abadi, survei tersebut menemukan kira-kira 20.000 hektar lahan yang diklaim oleh masyarakat. Fakta bahwa survei kepemilikan lahan secara sistematis dan menyeluruh belum pernah dilakukan merupakan indikasi kegagalan pemerintah dalam menegakkan hak-hak asasi: hukum Indonesia mengharuskan lahan yang diklaim pihak ketiga dikeluarkan dari konsesi hutan.

Catatan Arara Abadi menunjukkan bahwa 113.595 hektar lahan konsesinya telah dikalim oleh masyarakat lokal. Walaupun perusahaan ini menegaskan bahwa setengah dari kasus-kasus ini telah diselesaikan, mereka mengakui bahwa 57.000 hektar masih dalam sengketa. Akan tetapi, perusahaan ini tidak memberi rincian yang terkait dengan penyelesaian yang dilakukan atau lokasi lahan yang dituntut, sehingga tidak mungkin melakukan pemeriksaan silang tentang kemungkinan klaim-klaim ini saling tumpang tindih dengan yang ditemukan oleh tim gabungan tersebut.

Seperti polisi provinsi, para pejabat APP bersikeras bahwa Arara Abadi telah menerima konsesi yang sah dari pemerintah Indonesia. Selain itu karena penduduk lokal tidak memiliki surat kepemilikan resmi atas lahan tersebut, maka mereka tidak mempunyai hak yang sah. Direktur Arara Abadi mengakui bahwa hampir semua masalah keamanan mereka bukan bersumber dari "penebangan liar" seperti yang berulang-ulang ditegaskan oleh berbagai perwakilan, tetapi dari berbagai tuntutan hak atas lahan tradisional oleh masyarakat lokal.

Sebenarnya, hampir semua masalah keamanan kami berasal dari masyarakat lokal. Mereka memiliki hak ulayat. Reformasi telah membangkitkan rasa kepemilikan dan keberanian masyarakat dalam mengajukan tuntutan meskipun mereka tidak mempunyai dokumen resmi. Kadang-kadang pemerintah mengirim seorang penengah (mediator), tetapi ganti ruginya sering terlalu mahal.

Komentar ini mengungkapkan beberapa hal. Pertama, mereka menjelaskan bahwa istilah "penebangan liar" yang tidak tepat sering digunakan untuk mengaburkan tuntutan hak atas lahan masyarakat dan membuat keluhan-keluhan sah dan perlu dinegoisasikan menjadi seperti kegiatan kriminal. Hal ini merupakan faktor yang mendorong konflik-konflik di Angkasa/Belam Merah dan Mandiangin yang diuraikan di bawa. Kedua, pengamatan bahwa reformasi telah membuat masyarakat menjadi "lebih berani" dalam mendesakkan tuntutan mereka merupakan tanda betapa besarnya rasa takut masyarakat akibat diintimidasi di masa lampau. Ketiga, komentar pejabat tersebut menegaskan status kelas dua hak masyarakat asli, meskipun diakui oleh undang-undang. Pejabat Arara Abadi tersebut jelas menyadari bahwa masyarakat mempunyai hak ulayat, tetapi secara tidak langsung menyatakan bahwa akhirnya biaya ganti rugilah yang menentukan apakah hak-hak ini akan diakui atau tidak.

Walaupun Indonesia mengakui hak ulayat dalam undang-undangnya, proses resmi bagi masyarakat lokal untuk mengajukan tuntutan atas lahan belum ada. Berhadapan dengan staf perusahaan dan pegawai pemerintahan lokal yang tidak responsif dan tidak dapat diminta pertanggung gugatannya, masyarakat mungkin mencoba mengajukan kasusnya ke pengadilan. Namuan praktik korupsi dan penyuapan yang harus dilakukan menyebabkan cara ini menjadi tidak praktis bagi masyarakat lokal yang miskin dalam usaha mencari keadilan. Bahkan, perusahaan-perusahaan mengeluh bahwa pengadilan yang korup kadang-kadang meminta mereka memberi ganti rugi kepada penuntut yang tidak sah. Dalam ulasannya pada bulan Juni tahun 2002 mengenai sistem pengadilan di Indonesia, seorang Utusan Khusus tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara (Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers) dengan terkejut menyimpulkan bahwa ia "tidak menyadari betapa korupsi sudah sedemikian merasuk ke semua sendi." Penilaian ini dikuatkan oleh laporan penelitian yang rinci tentang sistem pengadilan yang disusun oleh Indonesian Corruption Watch. LSM independen ini mendokumentasikan korupsi dan penerimaan suap di semua tingkat proses pengadilan

Karena tidak memperoleh surat kepemilikan dan sistem peradilan yang ada tidak menolong mereka, masyarakat lokal mempunyai beberapa cara untuk membuat pengaduan mereka didengar, dan pengaduan secara informal yang disampaikan ke para pejabat lokal sering dibubarkan oleh pihak yang berwajib, sehingga masyarakat lokal menjadi lebih tersingkir. Seperti yang dikatakan secara terbuka oleh pejabat polisi provinsi,

Ya, mungkin kadang-kadang lahan disita tanpa diberi ganti rugi. Tetapi jika mereka tidak mempunyai surat-surat bukti kepemilikan, maka mereka tidak mempunyai hak sama sekali. Kebanyakan mereka tidak mempunyai surat bukti kepemilikan. Apa bukti tuntutan mereka? Jadi mereka tidak berhak atas apapun.

Lahan Arara Abadi yang luas tidak saja dirampas dari penguasaan lokal. Hutan alamnya juga dibabat habis, yang sebelumnya digunakan secara tradisional oleh masyarakat sekitar untuk usahatani lokal dan pengumpulan hasil hutan, termasuk pohon madu yang berharga secara ekonomi dan budaya yang terdapat di hutan alam, yang kepemilikannya diwariskan dari generasi ke generasi. Kebun buah-buahan dan pohon karet masyarakat juga dibabat. Lahan luas yang dikuasai untuk HTI pulp, digabung dengan konsesi-konsesi yang luas milik perkebunan pulp terbesar kedua di Indonesia, ditambah dengan konsesi-konsesi penebangan dan perkebunan kelapa sawit-menyisakan sedikit lahan yang dapat digunakan untuk memperoleh sumber penghidupan tradisional yang bergantung pada hutan (Peta B menunjukkan seluruh wilayah konsesi).

Peraturan pemerintah mengharuskan semua lokasi dan ladang desa dihilangkan dari wilayah kerja HTI, dan penanaman tidak diizinkan dalam jarak 1,5 km dari desa-desa atau jalan. Namun demikian, pohon-pohon akasia sudah biasa ditanam hingga ke pinggir jalan, dan di beberapa desa, hingga ke pintu dapur rumah-rumah penduduk desa. Seorang pria mengeluh, "Kalau kami ingin membangun kakus, kami harus menebang pohon akasia."

Kenyataannya, perluasan APP/Sinar Mas Group yang dibiayai dari hutang telah menghasilkan pasokan serat kayu yang melampaui pasokan kayu dari perkebunan akasia dan hutan alam yang tersedia dalam konsesi Arara Abadi. Akibatnya APP/SMG harus membeli dari hutan alam tebang habis di luar wilayah konsesinya yang sudah sangat luas. APP/SMG mengakui ketergantungannya pada pembukaan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pabrik: angka-angka yang dilaporkan APP/SMG kepada Human Rights Watch menunjukkan bahwa saat ini pabrik APP, PT Indah Kiat, di Perawang mengunakan kayu seperti itu untuk memenuhi 65 persen dari kebutuhan kayunya-dari total 9,8 juta ton per tahun-saat ini, dari jumlah itu, 25 persen berasal dari luar wilayah konsesinya (meskipun kritikus menyatakan angka itu mendekati 50 persen).

Saat ini, konsesi Arara Abadi meliputi 6 kabupaten. Pada saat dikeluarkan di akhir tahun 1980-an, HTI ini merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Akan tetapi, pada bulan Oktober tahun 2001, Arara Abadi mengumumkan keinginannya untuk memperluas areal operasinya sebesar dua-pertiga, yang berarti tambahan penebangan seluas 190.000 hektar hutan alam dalam lima tahun berikutnya untuk memasok kapasitas pabrik Indah Kiat Riau yang diperbesar. Perluasan ini akan dilaksanakan melalui "usaha bersama" dengan rekan-rekan yang tidak ditentukan dan di bawah persyaratan yang tidak ditentukan. Lagipula, untuk memenuhi peningkatan kebutuhan akibat peningkatan kapasitas produksi, APP/Sinar Mas Group berencana untuk melipatduakan luas hutan alam yang akan dibabat dalam lima tahun mendatang.

Sekarang ini, insentif ekonomi menjadi tidak layak bagi APP dan pabrik-pabrik pulp di seluruh Indonesia untuk melanjutkan perluasan kapasitas yang berlebihan dan ketergantungan terhadap pembabatan hutan alam, dan tekanan keuangan yang kuat akibat biaya pabrik yang sangat besar dan hutang yang berasal dari kelompok kreditor (saat ini sebagian di antaranya menuntut APP untuk membayar kembali melalui proses litigasi) untuk melanjutkan penghematan dan meningkatkan produksi, tanpa memperhatikan konsekuensi terhadap hak-hak asasi dan lingkungan. Insentif seperti ini, terutama di saat peraturan yang efektif masih tetap tidak ada, akan tetap mengancam hak-hak asasi anggota masyarakat lokal. (untuk lebih jelas mengenai data-data sementara sengketa agraria antara rakyat dengan PT. Arara Abadi, silahkan melihat bundle yang telah kami siapkan. Bahan ini terdapat pada daerah Siak, Bengkalis, dan Kampar).

Dari itu, upaya penangan konflik agrarian yang Serikat Tani Riau mendesak perjuangan untuk :

1. Ukur ulang seluruh areal HPH/TI, HGU milik perusahaan swasta/pemerintah yang berkonflik dengan rakyat. Pengukuran ulang ini mesti melibatkan masyarakat korban konflik. Untuk Riau, pada tanggal 1 Mei 2007 lalu, Pemerintahan Riau melalui asistennya – Nasrun Efendi – telah mengatakan menganggarkan dana 9 Milyar Rupiah untuk pelaksanaan pengukuran ulang tersebut dan berjanji akan menyeleaikannya hingga akhir tahun 2007.
2. Cabut – minimal tinjau ulang – Izin HPH/TI, HGU bagi perusahaan yang melakkan pelanggaran (seperti illegal loging, tidak menepati batas waktu inclaving, dl). Karena ditengarai, hal inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Misalnya saja, PT. Arara Abdi menurut SK Menhut 743/kpts-II/1996 diberikan waktu untuk melakuakan penyelesaian inclaving 2 tahun setelah SK dikeluarkan. Namun hingga sekarang masih diindikasikan banyak wilayah yang belum mereka inclav, sehinga menyebabkan terjadinya sengketa agraria.
3. Pemerintah Daerah segera membuat Perda tentang Hak Ulayat dan Adat di Riau. Hal ini dikarekan masyarakat Riau mengakui Lembaga Adat Melayu Riau sebagai sandaran adat di Bumi Lancang Kuning ini.
4. Tunda Revisi RTRWP Riau sebelum konflik agraria diselesaikan

Catatan :

Pandangan Serikat Tani Riau ini disarikan dari surat yang ditujukan untuk Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah RI [PAH II DPD RI] dalam pertemuan pada 26 September 2007 lalu di Ruang Kenanga Kantor Gubernur Riau. Adapun pokok pembahasannya adalah seputar konflik agraria dan illegal loging di Riau.



Pertanyakan Alokasi Penyelesaian Konflik Rp 9 Miliar, STR Deadline Pemprov Berikan Solusi Hingga Pertengahan Januari 2008

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=16974

Sabtu, 15 Desember 2007 18:43

Kendati sudah dialokasikan dana untuk penyelesaian konflik senilai Rp 9 miliar di APBD Riau 2007, namun konflik STR-PT Arara Abadi tak kunjung selesai. Pemprov dideadline berikan solusi hingga pertengahan Januari 2008.

Riauterkini-PEKANBARU-Sejak Mei 2007 lalu, saat warga 3 kabupaten melakukan demo besar-besaran dengan massa sebanyak 2000 orang, pemprov Riau berjanji segera menyelesaikan konflik antara warga dengan PT AA. Namun hingga kini, konflik tetap berjalan dan perebutan lahan terus berlangsung dan semakin meluas.

Untuk itu, Ketua Umum Komite Pengurus Pusat Serikat Tani Riau, Riza Suhelmi kepada Riauterkini sabtu (15/12) memberikan waktu (deadline) kepada Pemprov Riau untuk segera menyelesaikan konflik hingga pertengahan Januari 2008 mendatang.

"Kita memberikan batas waktu kepada pemprov Riau hingga pertengahan januari 2008 untuk menyelesaikan konflik. Jika tidak juga dapat diselesaikan kendati sudah dialokasikan Rp 9 miliar untuk membentuk tim penyelesaian konflik, kami akan melakukan class action sekaligus akan memogilisasi massa secara besar-besaran untuk mendesak penyelesaian konflik," ungkapnya.

Ia juga mempertanyakan alokasi dana anggaran penyelesaian konflik sebesar Rp 9 miliar. Menurutnya, dana tersebut disebutkan oleh Nasrun Effendi dan Herliyan Saleh saat menemui 2000 warga yang mendemo kantor gubernur Mei lalu.

"Waktu menemui warga, Nasrun Effendi dan Herliyan Saleh berjanji mengalokasikan anggaran APBD 2007 sebesar Rp 9 miliar untuk membentuk tim guna menyelesaikan konflik warga-Arara Abadi Mei 2007 lalu dihadapan 2000 warga 3 kabupaten (Kampar, Bengkalis dan Siak). Namun kenyataannya hingga kini tidak ada solusi bagi penyelesaian konflik. Lantas uangnya digunakan untuk apa," ungkap Riza mempertanyakan.

Kalau memang alokasi anggaran utu digunakan sebaik-baiknya untuk penyeleaian konflik, pasti saat ini masalahnya selesai. Karena dengan anggaran itu pemerintah sudah menurunkan tim untuk melakukan pemetaan dalam penentuan tapal batas antara lahan milik warga dengan lahan milik PT AA. Namun menurutnya, kondisi di lapangan semakin parah. Warga sudah ingin mengelola lahan ulayat. Sementara PT AA sendiri tidak mau melepas.

Jika PT AA memiliki SK Menhut no.743/1996, Riza menyatakan bahwa dasar warga sangat kuat. Karena selain terdapat pekampungan di kawasan perijinan PT AA, warga memiliki surat dari kerajaan Siak untuk masyarakat Sakai. Kemudian juga ada surat dari pihak PT Chevron Pacifik Indonesia bahwa di kawasan perijinannya, PT CPI memberikan hak kepada warga mengelola lahan di permukaan. Karena CPI sendiri lebih fokus ke sumber daya minyak bumi di bawah permukaan tanah.

Selain itu, tambah Riza, warga juga memiliki SKGR tahun 1980-an dan sudah menetap di kawasan areal perijinan PT AA sejak tahun 1940-an. Jadi menurutnya, warga jelas memiliki hak atas tanah ulayat yang masuk di kawasan HTI-nya PT AA.

"Dalam SK Menhut No.743 itu disebutkan bahwa paling lambat 2 tahun pemegang ijin harus menginclafkan kawasan perkampungan, ladang dan kebun masyarakat dari kawasan HTI pemegang perijinan. Namun mengapa PT AA tidak memiliki itikad baik untuk inclafing lahan warga hingga berlarut-larut selama satu dasawarsa," ungkapnya.***(H-we)


Insiden Helikopter, STR dan PT. AA Saling Klaim Jadi Korban Penyerangan

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=17034

Sabtu, 22 Desember 2007 20:08

Perseteruan Serikat Tani Riau (STR) dan PT. Arara Abadi (AA) terus berlanjut. Terkait insiden helikopter di Suluk Bongkal, kedua pihak saling mengaku sebagai pihak yang diserang.

Riauterkini-PINGGIR- Serikat Tani Riau (STR) mengklaim telah terjadi penyerangan terhadap massa STR di Suluk Bongkal KM 42 Desa Muara Basung, kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Sabtu (22/12) sekitar pukul 8.30 WIB. STR menuding PT. Arara Abadi (AA) menyerang dengan menggunakan sebuah helikopter terhadap puluhan bendeng yang digunakan massa STR menduduki lahan konsesi HTI PT. AA sejak awal Desember silam. Penyerangan dilakukan dengan menggunakan lemparan batu dan penyiaran cairan berwarna kekuning-kuningan dari helikopter.

"Saya mendapat informasi dari teman-teman lapangan, kalau telah terjadi penyerangan dengan menggunakan helikopter oleh PT. Arara terhadap anggota kami di Suluk Bongkal KM 42," ujar Ketua Umum Komite Pemimpin Pusat (KPP) STR Riza Zulfahmi kepada riauterkini yang menghubungi pagi tadi.

Hanya saja ketika ditanya mengenai kepastian penyerangan yang terjadi di lapangan, Riza belum berani memastikan kebenarannya, karena ia belum turun ke lapangan. Baru setelah dihubungi petang tadi, Riza berani memastikan telah terjadi penyerangan terhadap massa STR di Suluk Bongkal. "Saya sudah mendapat laporan dari Polsek Pinggir, katanya mereka telahmelakukan pengambilan data di lapangan," ujarnya saat hubungi riauterkin kembali pada petang tadi.

Lantas Riza memaparkan, bahwa ia telah mendapat informasi dari dua personil Polsek Pinggir, bernama Jaka dan Yusril, mengenai situasi lapangan. "Polisi mengamankan tiga butir batu sebesar lengan dan mendata kerusakan akibat kerusakan tersebut," ujarnya.

Ketika ditanya mengenai rincian kerugian dan dampak kerusakan akibat penyerangan tersebut, lagi-lagi Riza mengaku belum mengetahui secara detail. Informasi yang disampaikan baru sebatas data dari kepolisian dan dari aktifis STR di lapangan. Ia belum turun lapangan untuk melihat langsung. "Nantilah saya cek lagi," janjinya.

Mengenai laporan kepada kepolisian atas insiden tersebut, Riza memastikan STR belum membuat laporan. "Kami belum membuat laporan resmi kepada polisi atas penyerangan tersebut," ujarnya.

Sementara itu tudingan STR langsung dibantah pihak PT. AA. Justru perusahan pemegang konsesi lahan HTI ratusan ribu hektar itu balik menuding kalau helikopternya menjadi sasaran serangan dengan ketepel dan lemparan batu oleh massa STR. "Helikopter kami yang malah menjadi sasaran serangan massa STR. Heli itu diserang dengan lemparan batu dan ketepel. Lemparan itu ada yang kena dan membuat salah satu baling-baling helikopter rusak," ujar Humas PT. AA Nurul Huda kepada riauterkini yang menghubunginya, Sabtu (22/12).

Nurul lantas menjelaskan, bahwa helikopter berpenumpang lima orang termasuk pilot pagi tadi melakukan penerbangan rutin untuk memantauan titik api. Kerena itu yang diangkut helikopter itu para petugas pemadam kebakaran. "Itu penerbangan rutin, untuk melakukan pemantauan lapangan agar jika ada titik api bisa cepat dipadamkan. Selain itu, penerbangan tersebut juga memantau kondisi lahan yang diduduki massa STR," paparnya.

Ketika barada di sekitar bedeng-bedeng massa STR, lanjut Nurul, helikopter sempat berbutar beberapa kali untuk memastikan situasi lapangan, ketika itulah helikopter diserang dengan lemparan batu dan ketepel. "Jadi tidak benar kalau kami yang menyerang. Justru kami yang diserang," tegas Nurul.

Terhadap aksi pendudukan dan perusakan fasilitasn perusahaan oleh STR, PT.AA mengambil sikap pasif, meskipun selain tanaman egalitusnya dibabat sekitar 120 hektar dan sebuah pos keamanan dibakar, namun tidak ada reaksi balasan. "Kalau kami mau menyerang balik, tentu saat tanaman kami dibabat atau saat pos keamanan kami dibakar," demikian penjelasan Nurul.***(mad)

Catatan :

Hingga hari ini, para anggota Serikat Tani Riau jaringan Serikat Tani Nasional terus mempertahankan tanah yang telah diduduki dengan mendirikan sejumlah besar pos-pos pengamanan swakarsa.

Sementara di Jakarta, KomitePimpinan Pusat Serikat Tani Nasional tengah menggalang dukungan dari berbagai pihak untuk mendesak percepatan penyelesaian konflik dan meluluskan tuntutan perjuangan Serikat Tani Riau kepada pihak Menteri Kehutanan RI.

Gambar diambil dari http://www.riauterkini.com/photo.php?arr=1570



Merebut dan Menduduki Kembali Tanah Rakyat

Dalam rangka menyambut perayaan hari HAM Internasional, sejak Kamis [06/12] hingga Senin [10/12] Serikat Tani Riau selaku jaringan Serikat Tani Nasional menyelenggarakan serangkaian perjuangan massa dengan merebut dan menduduki 8000 Ha areal PT. Arara Abadi. Perusahaan ini adalah pemegang hak pengusahaan hutan tanaman industri untuk bahan pulp and paper.

Serikat Tani Riau berpandangan bahwa areal konflik tersebut patut direbut oleh kaum tani miskin dan tak bertanah yang berasal dari kalangan masyarakat adat sakai dan golongan yang lainnya. Mengingat, pemberian hak pengusahaan kepada PT. Arara Abadi oleh pemerintah telah meminggirkan masyarakat dari penghidupannya yang bersandar pada hutan dan wilayah kelolanya.

Disamping itu, tindakan kelompok pengamanan swakarsa 911 PT. Arara Abadi seringkali melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakat, baik secara fisik maupun perkataan yang intimidatif.

Keadaan tersebut menunjukkan kelemahan negara melindungi hak-hak konstitusional rakyatnya, khususnya dalam bidang sosial-ekonomi dan budaya. ini adaah pelanggaran HAM.

-----

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=16903

Senin, 10 Desember 2007 21:10
Massa STR Sandera Lima Karyawan PT. AA di Kampar

Perseteruan massa STR dengan PT. Arara Abadi meluas ke Kampar. Puluhan massa STR menyandera lima karyawan dan sebuah alat berat di Kecamatan Tapung.

Riauterkini-PEKANBARU- Puluhan massa Serikat Tani Riau (STR) melakukan penyanderaan terhadap lima karyawan PT. Arara Abadi dan sebuah alat berat di Desa Pantai Cermin, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Senin (10/12). Penyanderaan terjadi sebagai buntut dari sengketa lahan 30 hektar antara warga dengan perusahaan.

Penyanderaan terjadi mulai dari pukul 11.00 WIB, hingga pukul 16.00 WIB. Selama disandera, kelima karyawan tidak boleh pergi daerah lokasi tempat penahanan alat berat.

Ketua Umum Komiter Pimpinan Pusat (KPP) STR Reza menilai yang dilakukan anggotanya di Tapung bukan penyanderaan. "Kita bukan menyandera, melainkan menahan mereka agar tidak melakukan aktifitas di lahan yang masih sengketa. Sudah kita lepas lagi, kok," ujarnya saat dihubungi riauterkini, Senin malam.

Sementara itu, Humas PT. AA Nurul Huda menyatakan telah melaporkan secara resmi tindak penyanderaan yang dilakukan massa STR terhadap lima karyawannya dan sebuah alat berat. "Kita sudah laporkan ke Polsek setempat dan saya yakin polisi akan memprosesnya," ujar Nurul kepada riauterkini lewat telephon.

Kapolsek Tapung AKP Yulian Effendi membenarkan kalau pihaknya telah menerima pengaduan resmi dari PT. AA. "Kita memang telah menerima laporan dari perusahaan atas terjadinya penyanderaan terhadap lima karyawan dan sebuah alat berat oleh massa STR. Kita akan proses sesuai ketentuan yang berlaku," ujarnya melalui telephon.***(mad)

-----

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=16902

Senin, 10 Desember 2007 20:27
STR: Polisi Status Quokan 8.000 Lahan Konsesi PT. Arara Abadi

Aksi pendudukan massa STR atas ratusan hektar lahan konsesi HTI PT. Arara Abadi sementara dihentikan. STR mengklaim Polda Riau telah menetapkan status quo atas lahan tersebut.

Riauterkini-PEKANBARU- Setelah memenuhi panggilan Kapolda Riau Brigjen Pol Sutjiptadi di Mapolda Riau, Senin (10/12) tadi siang, Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Riau (KPP STR) Reza menyampaikan informasi bahwa Polda Riau telah menetapkan lahan seluas 8.000 hektar yang menjadi obyek sengketa PT. Arara Abadi (AA) dengan STR dalam status quo.

"Kami tadi telah bertemu dengan Kapolda Riau, setelah beliau mengundang kami ke kantornya. Dari pertemuan tersebut, Kapolda menyatakan bahwa lahan sengketa antara kami dengan PT.Arara Abadi dinyatakan dalam status quo," ujar Reza kepada riauterkini yang menghubungi telephon genggamnya.

Hanya saja ketika ditanya dalam bentuk apa keputusan Polda tersebut, Reza tak bisa merincikan, tetapi yang jelas tidak dalam bentuk surat tertulis. "Tidak ada surat tertulis, beliau hanya mengatakan status quo saja," tukasnya.

Namun kepastian kebenaran penepatan status quo tersebut belum ada. Polda sendiri belum memberikan keterangan resmi mengenai hal itu.

Sementara Humas PT.AA Nurul Huda mengaku belum mengetahui adanya penetapan status quo oleh Polda, jikapun ada, Nurul menilai keputusan Polda tersebut tidak tepat, sebab tidak ada kewenangan Polda menetapkan status quo. "Setahu saya yang berhak menetapkan status quo bukan polisi, melainkan pengadilan," ujarnya saat dihubungi riauterkini.***(mad)

-----

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=16890

Senin, 10 Desember 2007 16:43

Akui Bakar Pos Sekuriti, Dua Pengurus STR Penuhi Panggilan Polda Riau

STR secara terus terang mengakui membakar pos sekuriti PT.AA. Sementara itu dua pengurusnya tadi memenuhi panggilan Polda Riau untuk dimintai keterangan.

Riautrkini-PEKANBARU- Koordinator lapangan Serikat Tani Riau (STR) Tongah secara terus terang mengakui kalau pembakaran pos sekuriti PT. Arara Abadi (AA) kemarin petang, Ahad (9/12) dilakukan anggotanya.

"Memang kami yang melakukan pembakaran pos keamanan itu. Kami membakarnya untuk membalas dendam," ujar Tongah saat dihubungi riauterkini melalui telephon genggam, Senin (10/12).

Dijelaskan Tongah, balas dendam yang dimaksud adalah prilaku sekuriti PT. AA yang telah membakar beberapa kamp STR pada pertengahan Bulan Ramadhan lalu. "Dulu waktu tanggal 18 Puasa itu mereka membakar bedeng kami dan mengusir kami keluar. Mereka bilang, cepat keluar dari areal ini, anjing-anjing kami sudah lapar. Itulah yang membuat kami dendam," tegasnya.

Selain mengakui terlibat dalam pembakaran pos sekuriti, Tongah juga mengatakan kalau dirinya bari kembali di Polda Riau untuk menjalani pemeriksaan. "Saya dipanggil lewat telephon untuk datang ke Polda Riau. Saya datang dan memberi keterangan serta surat-surat bukti kepemilikan tanah kami," ujarnya.

Setelah memberi keterangan dan menyerahkan surat tanah, Tongah yang didampingi seorang pengurus kelompok tani Seluk Bongkal Rasyid langsung pulang.***(mad)

-----

http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=16870

Sabtu, 8 Desember 2007 11:48
Lahannya Dirusak dan Diduduki, PT. AA Siap Melepas, Jika Diputuskan Pemerintah

Terkait aksi perusakan dan pendudukan ratusan hektar lahan HTI-nya, PT. Arara Abadi menyatakan tidak keberatan melepas kawasan tersebut, asal pemerintah memutuskan demikian.

Riauterkini-PEKANBARU- Meskipun sejak Kamis (6/12) lalu seribuan orang yang tergabung dalam Seritat Tani Riau (STR) telah melakukan aksi perusakan dan pendudukan ratusan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT.Arara Abadi, namun pihak perusahaan belum bereaksi untuk melakukan pembebasan kawasan tersebut. Bahkan pihak security diintruksikan untuk tidak mengambil tindakan apapun di lapangan. Kebijakan ini diambil untuk menghindari bentrok dengan massa.

"Sejauh ini, PT AA tidak menurunkan tim security dari 911 untuk mengamankan lokasi. Keputusan tersebut merupakan kebijakan manajemen dengan tujuan tidak memperkeruh suasana di TKP yang memang sudah memanas. Kalau ada bus yang mengangkut para anggota security 911, itu hanyalah pergantian sift kerja mereka di pos-pos tertentu. Paling banter, 1 bus berisi 30-an anggota saja," ungkap Humas PT. AA Nurul Huda kepada riauterkini melalui telephon, Sabtu (8/12).

Disinggung tentang ribuan hektar lahan yang diklaim dan dituntut warga, Nurul menyatakan bahwa perusahaan bersedia menginclaf atau melepas lahan itu untuk warga. Namun demikian, itu harus menjadi keputusan pemerintah sebagai dasar hukumnya jelas.

"Sebagai pemegang hak konsensi, kami bukan pemilik. Pemilik lahan adalah pemerintah. Kalau pemerintah memutuskan itu harus diinclaf, kita ikut saja," demikian penjelasan Nurul Huda.***(mad)

-----

http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=16869

Sabtu, 8 Desember 2007 10:58
Polisis Didesak Tegas Menindak, Aksi Perusakan dan Pendudukan Areal HTI PT. Arara Abadi Berlanjut

Seribuan massa Serikat Tani Riau (STR) sudah tiga hari melakukan aksi perusakan dan pendudukan ratusan hektar areal HTI PT. Arara Abadi. Pihak perusahaan mendesak polisi bertindak tegas menindak.

Riauterkini-MANDAU- Setelah sehari sebelumnya seribuan massa yang tergabung dalam Serikat Tani Riau (STR) membabat puluhan hektar tanaman akasia di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Arara Abadi (AA), pada Jumat (7/12) kemarin, aksi tersebut berlanjut. Sampai Jumat sore, kebun akasia yang telah dibabat kemudian diduduki warga sekitar 210 hektar. Aksi ini dilakukan warga yang berasal dari 6 desa di Kecamatan Mandau dan Pinggir, Kabupaten Bengkalis tersebut merupakan kelanjutan aksi serupa pada Juli silam. Mereka mengklaim ribuan haktar kawasan HTI PT. AA merupakan tanah ulayat mereka dan harus dikembalikan.

Kawasan HTI PT Arara Abadi yang sempat dirusak warga adalah di Muara Bungkal (40 Ha), Melibur (40 Ha), Tasik Serai Timur (40 Ha), Umar Kasil (80 Ha), Raso Kuning (25 Ha) dan Mandi Angin (80 Ha). Kawasan yang dirusak warga diklaim sebagai tanah ulayat.

Tokoh Masyarakat Desa Tasik Serai Timur, Walianto kepada Riauterkini Jum'at (7/12) menyatakan bahwa setidaknya, 200 warga desa Tasik Serai Timur sejak pagi sudah berkumpul di Km 70 pinggiran desa Tasik Serai Timur. Mereka bermaksud untuk membabat tanaman akasia di pinggiran desa.

Hingga tengah hari dari pihak manajemen PT AA tak kunjung mendatangi massa warga, akhirnya warga benar-benar membabat akasia di kawasan tersebut. Hasilnya, puluhan hektar akasia (Eucalyptus) yang baru tumbung setinggi 1 - 1,5 meter habis dibabat massa warga Tasik Serai Timur. Bahkan papan peringatan larangan beraktivitas di kawasan HTI ditumbangkan warga.

Aksi itu turut pengakuan Walianto, warga asli Jawa kelahiran Sumatera Utara dan tinggal di Tasik Serai Timur sejak tahun 1992 itu, dipicu penanaman akasia oleh perusahaan. Padahal setelah dibentuknya tim 9 oleh Pemkab Bengkalis dan kawasan tersebut dinyatakan sebagai status quo. Namun menruutnya, Kendati status lahan adalah status quo, pihak perusahaan masih melakukan penanaman pohon akasia.

"Seharusnya pihak perusahaan menunggu hingga keputusan pemerintah keluar yang menyatakan lahan itu hak siapa yang mengelolanya. Bukan lantas keputusan belum keluar namun masih terus menanami dengan akasia," ungkap Walianto.

Sementara itu, kanit Intel Polsek Pinggir, Bripka Novrianto yang masih berjaga-jaga di Tempat Kejadian Perkara (TKP) menyatakan bahwa untuk menjaga segala kemungkinan, pihaknya menurunkan 25 personil dari Polsek Pinggir. Jumlah tersebut ditambah 5 personil intel yang di BKO-kan dari Polres Bengkalis.

"Kami hanya berjaga-jaga di TKP agar tidak terjadi bentrok dan ricuh antara pihak keamanan perusahaan (911) dengan warga. Karena dalam kondisi meradang kedua belah pihak bisa saja tersulut untuk terjadi bentrokan. Karena sebelumnya sudah sempat terjadi bentrokan antara kedua belah pihak hingga memakan korban jiwa," ungkapnya.

Menurutnya, sebenarnya sejak 2 tahun terakhir ini sudah dibentuk tim 9 yang terdiri dari beberapa instansi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun hingga kini permasalahan tak kunjung selesai. Sementara upaya tim 9 hingga kini tidak nampak hasilnya. Padahal menurutnya, warga sudah ingin menyelesaikan permasalahan tersebut.

"Sebab lahan yang menjadi perijinan PT AA adalah lahan negara yang 'dipinjamkan' kepada PT AA untuk dikelola selama kurun waktu tertentu. Jika pihak PT AA menanaminya dengan komoditi perkebunan, maka pihak perusahaan yang akan menerima sanksi dari pemerintah," ungkapnya.

Sementara itu pihak PT. AA melalui Humasnya Nurul Huda mendesak aparat kepolisian mengambil tindakan tegas terhadap para perusak kebun HTI perusahaannya. "Semestinya polisi bertindak tegas, karena yang mereka lakukan jelas-jelas pelanggaran hukum. Merusak dan menghancurkan milik orang lain. Apa lagi ini merupakan kejadian ulangan, dan kita sudah melaporkan ini secara resmi ke Polsek Pinggir," ujarnya kepada wartawan.

Dikatakan Nurul, kemarin, Kamis (6/12) pihak perusahaan langsung membuat laporan resmi begitu mendapatkan kepastian telah terjadi pembabatan tanaman akasia. Sayangnya hingga saat ini belum ada tindakan tegas yang diambil polisi terhadap aksi massa tersebut.

Kapolsek Pinggi AKP Widi H mengakui adanya laporan dari pihak perusahaan, namun ia mengatakan tidak mungkin melakukan penangkapan terhadap massa dalam jumlah seribuan seperti itu. ***(H-we)

-----

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/07/daerah/4051692.htm

Nusantara

Jumat, 07 Desember 2007
Konflik Lahan. Warga Tebangi Ekaliptus PT Arara Abadi

Pekanbaru, Kompas - Ratusan warga dari Desa Suluk Bongkal, Desa Tasik Serai Timur, dan Desa Melibur, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau, menduduki kawasan hutan yang masuk dalam konsesi perusahaan hutan tanaman industri PT Arara Abadi. Warga juga menebang ribuan pohon ekaliptus di areal tersebut.

Ketegangan muncul setelah puluhan petugas keamanan PT Arara Abadi (AA) mulai berjaga-jaga di areal yang disengketakan pada Kamis (6/12) petang. Meski demikian, sampai kemarin belum ada kontak fisik.

"Warga hanya mengambil tanah ulayat milik petani yang diambil oleh PT Arara Abadi. Aksi ini kami lakukan karena tidak ada penyelesaian dari pihak perusahaan. Perusahaan masuk terlalu jauh dari lokasi konsesinya," ujar Antoni Fitra, salah seorang koordinator aksi dari Serikat Tani Rakyat, yang dihubungi lewat telepon di Kecamatan Pinggir, Kamis.

Menurut Antoni, aksi akan berlangsung sampai tanggal 10 Desember. Sejak kemarin, warga sudah mendirikan kamp dan posko di areal yang diduduki. "Dua hari pertama ini, fokus pekerjaan kami menebang |pohon ekaliptus yang ditanam PT Arara Abadi di lahan kami. Selanjutnya, kami akan menanam tanaman pertanian di areal itu," katanya.

Antoni menyatakan, PT AA telah menyerobot areal kebun milik warga sekitar 8.000 hektar.

Humas PT AA, Nurul Huda, mengatakan, kasus areal yang disengketakan itu pernah dimediasi oleh Pemerintah Kabupaten Siak dan Pemkab Bengkalis. Kesimpulan mediasi, lahan sengketa merupakan kawasan hutan negara yang hak konsesinya diberikan kepada PT AA.

"Bersama Dinas Kehutanan, kami sudah memetakan ulang. Kesimpulannya, areal sengketa itu memang kawasan hutan, bukan lahan pertanian milik masyarakat. Warga tidak mampu menunjukkan surat-surat yang mendukung kepemilikan tanah. Mereka juga mempersoalkan tanah setelah kami menanam ekaliptus," kata Nurul.

Nurul menyatakan, persoalan sudah diserahkan kepada kepolisian. Namun, Kepala Kepolisian Sektor Pinggir AKP Widi Hardianto, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan belum menerima laporan dari pihak perusahaan. Dalam aksi pendudukan lahan itu, Widi mengaku tidak diberi tahu oleh warga.

"Kami hanya melakukan pemantauan dan sampai saat ini situasi masih kondusif," kata Widi. (SAH)



Film Aksi Ribuan Petani dan Masyarakat Adat 09 Agustus 2007


Silakan klik http://www.youtube.com/watch?v=rDvW0vG0N3k untuk melihat aksi ribuan petani/masyarakat adat sakai yang diorganisasikan oleh Serikat Tani Riau, jaringan Serikat Tani Nasional, dalam aliansi SEGERA.

Aksi dilakukan pada hari Kamis, 09 Agustus 2007 saat ULTAH Riau ke-50 di Pekanbaru. Peserta aksi menuntut pemerintah riau untuk segera mengembalikan tanah mereka yang terlah dirampas oleh PT. Arara Abadi [PT. AA] , salah satu perusahaan yang mengantongi hak pengusahaan hutan tanaman industri yang menanam kayu akasia sebagai bahan dasar pembuatan pulp & paper. PT. AA adalah salah satu anak perusahaan konglomerasi Sinar Mas Group.




Lagi Paripurna HUT Emas Riau, Gedung DPRD Dikepung Massa dan Dilempari Tomat

http://www.riauterkini.com/politik.php?arr=15418

Kamis, 9 Agustus 2007 15:52

Sekitar 1.000 massa SEGERA mengepung gedung DPRD Riau saat wakil rakyat menggelar rapat paripurna istimewa HUT emas Riau. Sementara mahasiswa melempar gedung dewan dengan tomat.

Riauterkini-PEKANBARU-Sudah menjadi agenda rutin DPRD Riau setiap HUT provinsi menggelar sidang paripurna istimewa. Begitu juga pada HUT Riau ke-50, Kamis (9/8). Di saat para wakil rakyat bersidang, sekitar 1.000 massa Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA) tiba dan langsung berkerumun di tepi jalan, luar pagar gedung DPRD Riau.

SEGERA merupakan kelompok kedua yang berdemo di DPRD Riau, sebelumnya telah terlebih dahulu datang sekitar 100 mahasiswa dari BEM Unri, BEM UIR dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Riau. Secara umum, kedua kelompok massa sama-sama kecewa peringatan HUT emas Riau begitu meriah. Sementara rakyat Riau masih banyak yang melarat.

Kedua kelompok massa tiba di DPRD Riau setelah melakukan long march dari Taman Makam Pahlawan Kusuma Darma Pekanbaru. Khusus massa SEGERA, sebagaiana aksi-aksi sebelumnya, mereka datang dengan tuntutan penutupan PT. Arara Abadi (AA) dan Indah Kiat Pulp And Paper (IKPP).

Tampil di atas podium dari sebuah mobil Pic-up, Rinaldi (Koordinator SEGERA), Intsiawati Ayus (anggota DPD RI) dan Mundung (Direktur Walhi Riau). Dalam orasinya, anggota DPD RI dari daerah pemilihan Riau, Intsiawati Ayus menyatakan dukungannya kepada masyarakat yang 'tertindas' oleh ulah perusahaan industri kehutanan yang menyerobot lahan adat (ulayat) suku sakai.

"Kita akan mendesak pimpinan provinsi Riau dan DPRD Riau untuk segera menuntaskan permasalahan penyerobotan lahan ulayat milik warga suku sakai oleh PT AA dan IKPP. Kita juga akan meminta pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk segera mengajukan data-data lengkat terhadap status lahan tersebut," terangnya.

Selain dikepung massa, gedung dewan juga dilempari tomat. Mahasiswa yang merasa kecewa karena aksi mereka tidak ditanggapi lantas melemparkan tomat. Belasan tomat berserakan di jalan depang gedung dewan, tenaga mahasiswa tak cukup kuat untuk mengotori gedung dewan dengan tomat, sebab jarak mereka terlalu jauh.

Sementara itu, Koordinator SEGERA, Rinaldi kepada Riauterkini menegaskan bahwa aksi kita ini bukanlah aksi demo seperti sebelumnya. Saat ini kita melakukan aksi pesta rakyat dalam rangka merayakan HUT Riau ke-50.

"Kita hanya melaksanakan pesta rakyat untuk memperingati HUT emas Riau. Dan kegiatan kita juga tidak ingin bertemu dengan para pejabat," terangnya.

terkait dengan aksi demo tersebut, Gubernur Riau, HM Rusli Zainal menyatakan bahwa aksi yang dilakukan adalah hal yang biasa. Pemprov Riau menghormati hak penyampaian aspirasi mereka.

"Itu biasa. Mereka boleh menyampaikan aksi sebagai sebuah aspirasi mereka kepada pemerintah maupun wakil mereka di DPRD Riau. Tentunya kita menerima aspirasi mereka dan akan memberikan solusi yang adil untuk permasalahan yang saat ini melibatkan mereka," terangnya.

Hal senada dikatakan ketua DPRD Riau, Chaidir. Menurutnya, aksi demo itu merupakan hal yang biasa dilakukan oleh warga untuk menyampaikan aspirasi mereka. Dan aspirasi itu juga bisa menjadi sebuah dukungan ataupun berupa kritik dan saran untuk pemerintah.***(H-we)

Gambar diambil dari http://www.liputan6.com/news/?id=145830&c_id=7

Tambahan :

SEGERA [Sentral Gerakan Rakyat Riau] adalah gabungan organisasi rakyat seperti Serikat Tani Riau - jaringan Serikat Tani Nasional, Serikat Mahasiswa Riau, Serikat Pedagang Jagung Bakar dan Papernas Riau. SEGERA juga didukung oleh kalangan LSM seperti IGJ - Jakarta, Walhi Riau, Jikalahari dan Yayasan Hakiki.

Slah satu hasil aksi 09 Agustus 2007 adalah ditanda-tanganinya kesepakat bersama antara Serikat Tani Riau dengan Instiawaty Ayus, anggota DPD RI yang berasal dari Riau. Kesepakatan tersebut bertema upaya percepatan penyelesaian konflik-konflik agraria di Prop Riau.


Konflik Lahan Warga-PT AA, Dishut Tunggu Hasil Pemeriksaan Kepolisian



http://www.riauterkini.com/politik.php?arr=15189

Jum’at, 20 Juli 2007 14:55

Tentang penyelesaian konflik antara warga Desa Beringin Kecamatan Pinggir dengan PT AA, Dishut Riau hingga kini belum turunkan tim untuk tentukan tapal batas. Namun turunnya tim menunggu hasil pemeriksaan pihak Kepolisian.

Riauterkini-PEKANBARU-Penyelesaian konflik antara warga Desa Beringin Kecamatan Pinggir dengan PT Arara Abadi hingga kini masih seputar hukum. Yaitu pengrusakan lahan HTI oleh warga. Sementara Dishut Riau yang berkewajiban untuk menyelesaikan tapal batas masih menunggu hasil pemeriksaan pihak Kapolisian.

“Pengrusakan kebun akasia milik PT AA masih belum bisa dikatakan kasus. Karena saat ini masih dalam proses pemeriksaan oleh pihak kepolisian. Kita sedang menunggu hasil pemeriksaan pihak kepolisian dalam mencari unsur pidananya. Setelah hasilnya keluar, jika diminta, Dinas Kehutanan akan menurunkan tim dalam penetapan tapal batas. Antara lahan HTI PT AA dengan lahan yang diklaim warga,” terangnya.

Menurutnya, hal itu dilakukan mengingat turunnya tim memerlukan pendanaan. Selain itu, dalam melakukan maping atau menentukan tata batas lahan HTI dengan lahan warga juga diperlukan dana.

Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Riau, Bambang Tri menegaskan bahwa kondisi di lapangan saat ini masih panas. Jadi perlu adanya kepastian hokum dan status kawasan guna mencegah terjadinya konflik yang berkemungkinan bisa terjadi lebih besar lagi dibandingkan beberapa waktu lalu.

“Kalau bisa, dilakukan penentuan tata batas sesegera mungkin oleh instansi terkait agar dapat mencegah adanya konflik yang lebih besar lagi di masa mendatang,” ungkap Kadishut Riau.***(H-we)

Gambar diambil dari http://www.riauterkini.com/photo.php?arr=1366


PT. AA Polisikan SEGERA, Pemprov Riau Menyesalkan Pembabatan Kebun HTI



http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=15159

Rabu, 18 Juli 2007 17:13

PT. AA Polisikan SEGERA,
Pemprov Riau Menyesalkan Pembabatan Kebun HTI

PT. Arara Abadi resmi mengadukan SEGERA dan warga yang membabati kebun akasia perusahaan tersebut. Sementara Pemprov Riau menyesalkan aksi SEGERA yang dinilai bisa menjadi preseden buruk di Riau.

Riatuerkini-PEKANBARU- Tidak terima kebun akasia seluas 20 hektar dibabat habis warga Sakai dan massa Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA), PT.Arara Abadi menempuh jalur hukum. Laporan resmi disampikan ke Polsek Pinggi, Rabu (18/7) kemarin sore.

"Kami berkeyakinan apa yang dilakukan massa SEGERA merupakan tindakan melanggar hukum. Tindak pidana yang harus diproses secara hukum, karena itu kami melaporkan ke Polsek Pinggir," ujar Humas PT. Arara Abadi (AA) Nurul Huda kepada riauterkini yang menghubungi, Rabu (18/7).

Dijelaskan Nurul, laporan tersebut atas nama Reinhard Sinaga, selaku Humas PT.AA di Duri dengan nomor pengaduan Pol 192/VII/2007/YANMAS tertanggal 17 Juli 2007.

Sementara itu Pemprov Riau melalui Kepala Biro Pemerintahan dan Humas Setdaprov Riau Tengku Khalil Jaafar menyesalkan tindakan SEGERA membabat lahan HTI PT.AA. "Itu jelas tindakan pidana yang menjadi urusan polisi. Harus ditindak tegas," ujarnya saat ditemui riauterkini di kantornya, Rabu (18/7).

Dikatakan Tengku Khalil, mestinya SEGERA menghormati kesepakatan yang telah dibuat dengan Pemprov Riau, sebab dalam pertemuan beberapa waktu lalu, SEGERA memperacayakan proses inventarisasi lahan PT.AA dan lahan lain yang bersengketa dengan masyarakat kepada Pemprov Riau. "Prorses invetarisasi itu masih berlanjut. Belum tuntas," ujarnya.

Tindakan seperti yang dilakukan SEGERA jika tidak ditindak, lanjut Tengku Khalil bisa menjadi preseden buruk di Riau. "Kalau SEGERA dibiarkan, bisa memancing kelompok lain untuk melakukan tindakan serupa. Dan jika itu terjadi, bisa sangat berbahaya bagi stabilitas keamanan dan iklim investasi di Riau," demikian penjelasan Tengku Khalil.***(mad)

Tambahan :

Sentral Gerakan Rakyat Riau (SEGERA) merupakan front perjuangan multi sektoal di Riau yang terdiri dari Perkumpulan Hakiki (LSM), Ikatan Mahasiswa Pelajar Kecamatan Bengkalis (INPERALIS), Serikat Tani Riau (STR), Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS), dan SATELIT GEMPUR. STR adalah jaringan Serikat Tani Nasional di Propinsi
Riau.

Berkaitan dengan hal ini, SEGERA tengah melakukan konsolidasi data dan informasi berkenaan dengan pelaporan PT. AA serta menyiapkan kemungkinan-kemungkinan pembelaan hukum.

Foto diambil dari http://www.riauterkini.com/photo.php?arr=1362&det=1



Dukung Polda Riau, Lebih Seribu Massa SEGERA Tuntut PT. Arara Abadi Ditutup



http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=15087

Kamis, 12 Juli 2007 15:29

Massa Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA) kembali turun ke jalan. Mereka mendukung langkah Polda Riau menindak tegas illegal logging dan mendesak penutupan PT. Arara Abadi.

Riauterkini-PEKANBARU- Sekitar 1.500 massa Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA) yang datang dari tiga kabupaten kembali menggelar unjuk rasa. Massa tiba di Jalan Cut Nyak Dien, samping kantor Gubernur Riau sekitar pukul 11.00 WIB, Kamis (12/7). Sebanyak 30 truk dan 20 mobil kecil menjadi angkutan pengunjuk rasa yang telah tiga kali mengerahkan massa ke Pekanbaru tersebut. Jika dua aksi sebelumnya SEGERA berunjukrasa di kantor gubernur, kali ini mereka mendatangi markas Polda Riau dan DPRD Riau.

Keberadaan aksi SEGERA membuat dua ruas jalan ditutup sementara, yakni Jalan Cut Nyak Dien dan Jalan Jendral Sudirman di depan Mapolda Riau. Secara bergantian perwakilan pengunjukrasa menyampaikan orasi. Kepada Polda, SEGERA menyatakan dukungannya untuk memberantas illegal logging, terutama yang melibatkan pejabat dan perusahaan besar, seperti PT. Arara Abadi (AA). Khusus untuk PT.AA, massa menutut agar perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) tersebut ditutup karena telah banyak melakukan penyerobotan lahan masyarakat dan mencuri kayu hutan.

Atas langkah Polda Riau menetapkan tiga direktur PT.AA sebagai tersangka kasus illegal logging, SEGERA mengucapkan salut dan memberikan dukungan sepenuhnya. Kepada Kapolda SEGERA menyampaikan tiga pernyataan sikap. Pertama, diminta untuk tetap teguh melanjutkan proses penyidikan terahadap PT. AA, kedua membuka kemungkinan penyelidikan dugaan konflik tanah PT.AA dengan masyarakat di lima kabupaten, dan ketiga diminta pengusutan terhadap dampak kekerasan yang dilakukan PT.AA terhadap masyarakat sekitar HPHTI PT.AA.

Keinginan massa SEGERA bertemua langsung Kapolda Riau Brigjen Pol Sutjiptadi tidak kesampaian. Massa hanya diterima Dir Samapta Polda Riau Kombes Pol Edy Kustoro. Kepada pengunjukrasa, Edy menyampaikan ucapan terima Kapolda Riau atas dukungan yang diberikan. Sementara mengenai sejumlah tuntutan yang disampaikan, Edy berjanji akan meneruskan kepada atasannya.

Puas dengan jawaban Edy, massa mengakhiri unjukrasa di Polda dan kemudian melanjutkan aksi di DPRD Riau. Di DPRD Riau massa hanya diterima sejumlah anggota dewan, seperti Syamsul Hidayat Kahar dari Fraksi Partai Golkar. kepada DPRD ada tiga pernyataan sikap yang disampaikan. Pertama DPRD Riau diminta segera memberikan dukungan politis atas langkah Polda Riau memberantas illegal logging, kedua segera menyelesaikan revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan memasukan tanah adat dan perkebunan rakyat dalam revisi RTRWP. Ketiga segera membuat rekomendasi peninjauan ulang izin HPHTI PT. AA.

Setelah menyampaikan aspirasinya, massa kemudian membubarkan diri dengan tertib. Untuk melancarkan arus lalu-lintas, iring-iring mobil massa SEGERA dikawal polisi sampai perbatasan Pekanbaru.***(mad)

Tambahan.

Sentral Gerakan Rakyat Riau (SEGERA) merupakan front perjuangan multi sektoal di Riau yang terdiri dari Perkumpulan Hakiki (LSM), Ikatan Mahasiswa Pelajar Kecamatan Bengkalis (INPERALIS), Serikat Tani Riau (STR), Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS), dan SATELIT GEMPUR. STR adalah jaringan Serikat Tani Nasional di Propinsi Riau.

Foto diambil dari http://www.riauterkini.com/photo.php?arr=1362&det=2