Kamis, 20 Agustus 2009

Berita Dari Jambi


Suku Anak Dalam : PT. Asiatik Persada (WILMAR Group) Berdiri Di Atas Tanah Kami

KETERANGAN gambar. Wilayah klaim tanah adat Suku Anak Dalam Kubu Bahar telah di-digitalisasi dan ditempelkan di atas peta kerja PT. Asiatic Persada oleh LSM Setara Jambi dan Yaasan Masyarakat Adat Kubu.

-----

SUNGAI BAHAR, BATANGHARI. Orik [55] adalah satu dari sekian ribu anggota Suku Anak Dalam Kubu Bahar [SAD] yang geram dengan sikap pemerintah. “Tanah adat desa lama kami diserobot perusahaan. Kami diusir. Tahun lalu BPN [Badan Pertanahan Nasional – Red] sudah turun ke lapangan. Mereka akui tanah kami masuk HGU, tapi mengapa sampai sekarang belum dikembalikan pada kami?” tanyanya.

Orik termasuk satu dari sedikit anggota SAD yang masih berani mendirikan gubuk dan pekarangannya di areal kebun PT. AP. Meskipun sering ditajut-takuti oleh aparat keamanan tapi Orik dan kawan-kawan tidak mundur. Karena gubuk yang dia dirikan terletak di atas tanah adat. Tanah adat desa lama tersebut terdiri dari tiga wilayah administrasi yang sering disebut sebagai Desa Padang Salak, Desa Pinang Tinggi dan Desa Tanah Menang.

Sementara HGU yang dimaksud Orik adalah hak guna usaha yang dimiliki PT. Asiatic Persada [PT. AP], salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menginduk pada WILMAR Group Malaysia. Awalnya HGU tersebut diberikan pemerintah kepada PT. Bangun Desa Utama di tahun 1987. Namun di tahun 1992 telah terjadi pengalihan kepemilikan kepada PT. AP.

BPN Jambi memang telah melakukan penelitian lapangan pada 19-25 Juli 2007 yang lalu. Penelitian tersebut berdasarkan surat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia bernomor 2027 – 610.3 – DV.1 tentang ‘Percepatan penyelesaian konflik tanah masyarakat adat orang Kubu yang terletak di tiga desa yaitu Desa Padang Salak, Desa Pinang Tinggi dan Desa Tanah Menang Kec. Sungai Bahar Kab. Batang Hari Propinsi Jambi’ tertanggal 28 Juni 2007.

“Surat tersebut dikeluarkan karena desakan perjuangan massa SAD di Jambi sejak 1987,” kata Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN]. Bersama LSM Setara Jambi, KPP STN bergiat aktif mendukung perjuangan massa SAD sejak pertengahan 2006. “Kamipun telah menyampaikan protes pada pimpinan WILMAR Group di Malaysia untuk memperhatikan permasalahan ini sebagai salah satu tanggung jawabnya dalam forum RSPO [Roundtable Sustainable Palm Oil]” ujar Rukaiyah Rofiq Direktur Setara Jambi.menambahkan.

Hasil Penelitian

Bastian Helmi NIP 010150365 dan Samson NIP 010152046 dari BPN Jambi diserahi tanggung jawab sebagai pelaksana penelitian. Kegiatan mereka dilaporkan dalam dokumen berjudul Laporan Hasil Penelitian Konflik Tanah Masyarakat Adat Orang Kubu Kelompok Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi Propinsi Jambi berikut dengan peta.

Mengutip salah satu hal penting yang termuat dalam laporan itu adalah ‘tanah masyarakat dat kubu tiga kelompok Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang di lapangannya adalah areal yang terletak diantara Sungi Merkanding, Sungi Temidai, Sungai bahar dan Sungai Samiyo dan seluruhnya masuk dalam HGU dimaksud dan terletak dalam wilayah Desa Merkanding Kecamatan Sungai bahar Kabupaten Muaro Jambi dan Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari’.

Namun dalam dokumen yang sama, Bastian dan Helmi justru menyetujui rencana PT. AP yang bermaksud memberikan 1000 hektar areal di luar HGU yang dimilikya kepada SAD melalui pola kemitraan/plasma sebagai jalan keluar penyelesaian konflik. “Kami menolak keras. Masayarakat kami hanya ingin tanah adat kembali!” tegas Orik yang juga kepala desa lama Padang Salak. Pendapat Orik juga didukung oleh Abas [41] kepala desa lama Tanah Medang dan Nurman [45] kepala desa lama Pinang TInggi.

Padahal, 1000 hektar areal yang akan diberikan oleh PT. AP tersebut adalah areal perkebunan PT. Maju Perkasa Sawit yang terlantar dan telah digarap oleh masyarakat dari Desa Bungku. “Kalau kita terima tawaran itu, sama saja dengan mengadu domba SAD dengan orang Desa Bungku,” sergah Husein Aroni [60], ketua adat SAD dan Asnawi [65], ketua Yayasan Masyarakat Adat Kubu hampir bersamaan.

Lain halnya tanggapan BPN Jambi. Menurut mereka dokumen tersebut bukanlah sikap resmi institusi. Masih diperlukan kajian lanjutan di bidang sosio-kultural SAD yang berkaitan dengan asal-usul komunitas tersebut.

Namun hingga menjelang artikel ini disusun, BPN Jambi tak kunjung menerbitkan laporan resmi hasil penelitian. Hal ini justru menjadikan SAD makin resah dan persoalan makin berlarut larut.

Pemetaan Partisipatif

Guna memantapkan klaim adapt atas tanah SAD yang diserobot PT. ATP, LSM Setara Jambi bekerjasama dengan Yayasan Masyarakat Adat Kubu mengadakan pemetaan di lapangan pada Juli 2008. “Data dan informasi lapangan kami digitalisasi. Agar batas-batasnya akurat dan dapat diukur luasannya,” ujar Ade, aktifis LSM Setara Jambi.

Husein Aroni menambahkan bahwa SAD bermaksud mendesak juga pada Gubernur Jambi dan para bupati dimana PT. AP beroperasi agar turut mendukung penyelesaian konflik. “Karena pemerintahan propinsi juga harus bertanggung jawab terhadap masalah yang menimpa kami,” tandasnya.

Mewakili SAD, Husein Aroni menyatakan tiga tuntutannya yakni; pertama, segera publikasikan berita acara resmi hasil penelitian BPN Propinsi Jambi; kedua, segera kembalikan lahan tanah dusun hak milik dalam waktu singkat disertai dengan surat kesepakatan bersama demi kekuatan hukum; ketiga, apabila lahan tanah tidak segera dikembalikan secara resmi melalui fasilitasi pemerintah, maka SAD akan mengambil alih sepihak karena semua proses damai telah dilalui dengan sabar.


Jalan Panjang Suku Anak Dalam Merebut Hak Atas Tanah Yang di Kuasai PT. Asiatik Persada



Pernyataan Kasus SETARA Jambi dan Suku Anak Dalam 113

Melalui Hak Guna Usaha nomor : 1 tahun 1986, PT BDU (Kini PT Asiatik Persada) beroperasi diwilayah desa Tiang Tunggang Bungku. Sertifikat HGU diterbitkan oleh BPN Kabupaten Batanghari propinsi Jambi Tgl 20 Mei 1987 dengan luas kebun seluas 20.000 Ha yang akan dibangun perkebunan kelapa sawit dan coklat. Sertifikat ini tidak memiliki gambar tanah dan penjelasan.

Selain beberapa perladangan dan kebun masyarakat local, beberapa dusun yang ditempati oleh warga asli yang menyebut dirinya dengan Suku Anak Dalam (SAD) tergusur dengan kehadiran perusahaan yang kini dimiliki oleh pengusaha asal Nias Medan yang memiliki group fonemenal sepanjang akhir tahun 2000 yaitu Wilmar Group. Beberapa dusun itu adalah dusun Padang Salak, Dusun Tanahmenang, dan Dusun Pinang Tinggi.

Bukti dari masuknya dusun ini dalam areal konsesi adalah terlihat dari anak-anak sungai.

Ada Dusun Padangsalak dengan mewarisi beberapa anak sungai seperti Sungai Suban, Sungai Cermin, Sungai Padang Salak, Sungai laman Minang, Sungai Suban Ayomati, Sungai bayan Temen, Sungai Durian makan Mangku, Sungai Lubuk Burung, Sungai Ulu Suban Ayomati.

Dusun Pinang Tinggi yang mewarisi beberapa sungai seperti Sungai Tunggul Udang, Sungai Durian Dibalai, Sungai Empang Rambai, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Pematang Tapus, Sungai Nyalim, Sungai Jalan Kudo, Sungai Durian Diguguk, Sungai Patah Bubung, Sungai Durian Diriring, Sungai Bayan Kralis, Sungai Durian pangulatan, Sungai Durian nenek Perda, Sungai Durian Tunggul Meranti, Sungai Mantilingan, Sungai lais, Sungai Sangkrubung, Sungai Durian Jerjak Ui, Sungai Tunggul Meranti, Sungai Tunggul Enaw.

Sedangkan Dusun Tanah Menang mewarisi beberapa sungai yaitu Sungai Limus, Sungai Dahan Petaling, Sungai Langgar Tuan, Sungai Pagar, SungaiKlutum, Sungai Lesung Tigo, Sungai Lamban Bemban, Sungai Tertap, Sungai Nyalim, Sungai Temidai, Sungai Sialang Meranti, Sungai Dahan Setungau, Sungai Ulu Kelabau, Sungai Marung Tengah, SungaiBindu, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Semio, Sungai Klabau, Sungai Arang paro.

Kesemua anak sungai tersebut masuk dalam areal perkebunan milik PT Asiatik Persada. Walaupun kini banyak anak sungai yang berubah kondisinya karena ditimbun oleh pihak perusahaan untuk diratakan menjadi kebun sawit, tapi warga SAD masih bisa mengingat dengan baik tempat dan lokasi sungai tersebut.

Beberapa peta dusun yang dibuat oleh warga secara bersama-sama, membuktikan bahwa mereka sangat mengerti dan bahkan hafal dengan lokasi-lokasi pedusunan yang kini sudah berubah menjadi kebun sawit. Bukti bahwa lokasi perkebunan kelapa sawit milik PT Asiatic yang dulunya berada dibawah naungan group lokal Asiatik Mas Coorporation terlihat pada Surat izin prinsip yang dikeluarkan oleh badan Inventarisasi dan Tata Guna hutan Jakarta No. 393/VII-4/1987 tanggal 11 Juli 1987 point 5 bahwa pada lokasi ini terdapat pemukiman penduduk, perkebunan, perladangan, hutan dan belukar milik masyarakat.

Izin prinsip pelepasan kawasan tertera bahwa dari sekitar 27.150 Ha sekitar 23.000 Ha lokasi yang masih berhutan, dan 1.400 Ha belukar, 2.100 Ha perladangan, dan 50 Ha pemukiman penduduk. Persoalan bermula ketika perusahaan ini tidak segera menyelesaikan ganti rugi sebagaimana yang diamanatkan dan disyaratkan untuk memperoleh izin prinsip perkebunan.

Beberapa dokumen sebagai pembukti bahwa Warga Suku Anak Dalam memiliki hak diwilyah perkebunan PT Asiatik Persada.

  1. Surat peninggalan dari Depati Kelek Depati Dusun Pinang Tinggi di tahun 1940 yang ditemukan di Kantor De Controleur Van Moeara Tembesi tertanggal 20 November 1940. pada surat ini tertulis bahwa benar ada pedusunan diwilayah dengan batas-batas ulu sungai bahar berbatas dengan sungai Jentik, wilayah dusun Sungai Jentik dan wilayah ini adalah wilayah Dusun Depati Djentik. Hilirnya Sungai Bahar berbatas dengan Muaro Sungai Markanding dan Markanding. Kiri mudik sungai Bahar berbatasan dengan Sungai Bungin-Sungai Kandang,-Sumatera Selatan. Kanan mudin sungai Bahar berbatasan dengan sungai Bulian-sungai Jernih Pangkal Tigo.
  2. Surat dikeluarkan oleh Pasirah Kepala Marga Batin V Marmio di buat tanggal 4 maret 1978
  3. Surat peninggalan nenek mamak suku kubu 113 menuntut PT BDU (sekarang Asiatik Persada) ditahun 1986.
  4. Daftar lokasi dan jumlah kuburan warga masyarakat Suku Anak Dalam yang berjumlah 259 perkuburan yang terkena penggusuran akibat pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dan coklat ditahun 1985.

Kedudukan berbagai pihak yang mengklaim diri sebagai Suku Anak Dalam

Ada dua kriteria Suku Asli diwilayah ini, yaitu:

  1. Suku Anak Dalam Batanghari Sembilan (Sub Bagian Dari Suku Kubu Lalan Anak Sungai Musi) adalah suku pedalaman yang mendiami kawasan antara sungai Batanghari dan Sungai Musi, dan khususnya mereka disisi perbatasan Propinsi Jambi yang hidup disepanjang anak dari sungai Musi yang mengarah ke Propinsi Jambi. Suku Batin Sembilan berada dan pernah hidup secara tradisional di kawasan sisi perbatasan Sumatera Selatan. Menurut tetua adat disuku Batin ini, bahwa mereka merupakan keturunan dari moyang Nikat Air Hitam Penukal Musi Banyu Asin Palembang, kemudian menyebar dan merambah ke arah jambi melewati daerah Bakal Petas dan kemudian hidup didesa Tanjung Lebar, Pelempang, Nyogan dan Tanjung Pauh, jumlah mereka sekitar 597 KK atau sekitar 2.337 jiwa. Mereka sudah mendiami wilayah sejak puluhan tahun lalu. Sebenarnya mereka punya wilayah tersendiri yaitu di selatan daerah yang namanya Bakal Petas (Batas) yang masuk ke propinsi Sumsel. Di Bakal Petas ini terdapat tanaman yang khas yaitu barisan pohon yang membelah memanjang (sampai sekarang batas alam ini masih tersisa walaupun tidak utuh lagi akibat adanya HPH). Ketika mereka merambah kearah jambi dan melewati daerah Bakal Petas maka mereka melakukan perjanjian dengan tuo-tuo tengganai dari Suku Anak Dalam Sungai Bahar untuk menumpang hidup diwilayah suku Anak Dalam Sungai Bahar yang lebih dulu ada diwilayah ini, adapun isi perjanjian itu pada intinya adalah tanaman tua untuk Suku Anak Dalam Sungai Bahar dan tanaman muda untuk Suku Batanghari IX sebagai pendatang.
  2. Suku Anak Dalam Sungai Bahar (sejak tahun 1999 mereka menyebut dirinya Suku Kubu Bahar Kelompok 113 hal ini untuk menjadi simbol identitas mereka dan membedakan dengan kelompok lainnya) adalah masyarakat asli yang mendiami wilayah ini jauh sebelum kedatangan beberapa kelompok suku asli diatas. Dan berhak atas tanah dan kebun yang tergusur akibat kedatangan perusahaan perkebunan PT Asiatik Persada. Mereka merambah dari arah Muarajangga Tembesi dan akhirnya mendiami Hulu Sungai Bahar. Sungai Bahar merupakan anak dari sungai Musi Sumsel dimana bagian ilirnya merupakan hak Masyarakat Asli Sumsel dan bagian Hulunya merupakan hak Masyarakat Asli Jambi, adapun batasnya adalah tanda alam yaitu daerah Bakal Petas. Perbatasan ini telah diakui oleh nenek moyang dari kedua masyarakat asli diatas. Dan berdasarkan surat pada zaman Belanda tahun 1940 ternyata dusun mereka telah diakui oleh Pemerintah Belanda dan dijadikan dusun khusus Suku Anak Dalam.

Usaha yang sudah dilakukan oleh Suku Anak Dalam kelompok 113

Pertemuan dengan pihak DPRD Batanghari tanggal 10 Maret 2003, yang membahas tentang penggusuran rumah warga kelompok 113. pertemuan ini akhirnya tidak menghasilkan apa-apa, karena pihak DPRD menunggu respon dari pihak perusahaan

  1. Pertemuan kembali dengan pihak DPRD Batanghari tanggal 29 April 2003, kali ini dengan komisi A DPRD dan pihak Komisi A menjanjikan akan mempertemukan masyarakat dengan pihak perusahaan. Dan hasilnya akan ada pertemuan kembali yang akan menghadirkan pihak perusahaan.
  2. Pertemuan dengan pihak DPRD Batanghari dan dihadiri oleh masyarakat sebanyak 113 orang, dan pihak perusahaan hadir Direktur Asiatik Persada Sean Marron. Pada pertemuan ini disepakati bahwa pihak perusahaan akan membangun kebun sawit dan perumahan untuk masyarakat suku kubu asal masyarakat mau dan bersedia menyerahkan lahan dan kebunnya kepada pihak perusahaan. Tapi ternyata janji tinggallah janji.

Sudah hampir 20 tahun warga suku Anak Dalam kelompok 113 ini berjuang untuk mempertahankan tanah warisan nenek moyang, tapi tak kunjung menemukan titik penyelesaian. Dari perusahaan ini dikelola oleh keluarga Senangsyah (1985-2000), kemudian beralih ke perusahaan PMA yaitu CDC-Pacrim/PRPOL (2000-2005), kemudian beralih lagi perusahaan Amerika yaitu CARGILL (2005-2006) dan sekarang dibawah managemen perusahaan besar yang berbasis di Malaisia yaitu Wilmar Group (2006- sekarang). Walaupun kepemilikan perusahaan ini terus berganti, tapi kami dari warga suku Anak Dalam kelompok 113 menuntut :

PERUSAHAAN PT BDU atau PT ASIATIK PERSADA SEGERA MENGEMBALIKAN DUSUN KAMI YAITU DUSUN TANAH MENANG, DUSUN PADANG SALAK DAN DUSUN PINANG TINGGI DAN JUGA MENGEMBALIKAN ANAK-ANAK SUNGAI BERJUMLAH 50 KEPADA KAMI WARGA SUKU ANAK DALAM KELOMPOK 113.

Catatan :

Pernyataan kasus ini dirangkum oleh LSM SETARA Jambi yang mendukung perjuangan SAD bersama dengan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional.


Tradisi Besale , Bertahan Bersama Suku Anak Dalam




http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/19/daerah/4090527.htm

Nusantara
Rabu, 19 Desember 2007

Tanah Air

Irma Tambunan

Udara dalam rumah panggung milik Hasan terasa sesak. Asap kemenyan berpendar memenuhi ruangan, sementara sebagian orang terus menyanyi, menari, sambil mengelilingi Susi yang menggendong bayinya, Mima (3). Selama tiga malam berturut-turut, pesta adat digelar untuk memohon kesembuhan Mima.

Masyarakat suku anak dalam atau orang rimba menyebut tradisi ini besale, ritual pengobatan tradisional yang dipimpin dukun, untuk mengusir roh jahat yang dipercaya bisa menyebabkan orang jatuh sakit.

Mima, bayi yang mereka kasihi itu, sudah sebulan sakit parah. Ia menderita diare dan muntah-muntah, bahkan sempat pingsan selama satu minggu. Orangtuanya kebingungan untuk menyembuhkan si anak bungsu karena obat-obatan yang selama ini mereka gunakan, yaitu air rebusan pasak bumi, tidak mempan menyembuhkannya.

Amid, kepala adat yang juga kakek Mima, berembuk dengan sejumlah warga. Mereka sepakat melaksanakan tradisi besale. Hanya selang dua hari, besale digelar dalam sebuah rumah panggung yang baru selesai dibangun bersama.

Cukup rumit persiapannya. Sembilan rumah-rumahan dari bambu berisi berbagai jenis makanan disiapkan lengkap dengan kemenyan dan bunga-bungaan, yang dipasang di langit-langit rumah milik Hasan, paman Mima. Ini menjadi sesaji, selain lilin lebah, ketan, berondong padi, telur, ayam, dan dupa.

Ruangan itu sangat ramai dan sedikit sesak. Sekitar 50 orang memenuhinya sejak pukul 23.00. Mereka tidak beranjak pulang sampai seluruh prosesi besale selesai esok paginya, sekitar pukul 06.00.

Di luar dari berbagai persiapannya dibutuhkan setidaknya tujuh jam untuk satu kali pelaksanaan besale. Dalam kunjungan ke komunitas orang rimba di Sungai Bahar, Batanghari, Jambi, awal November lalu, Kompas merekam ada lima prosesi doa, yang kemudian berakhir dengan makan bersama pada sekitar pukul 06.00.

Besale dimulai dengan tari-tarian mengelilingi Mima yang berada dalam dekapan Susi. Mereka berdua duduk di tengah-tengah ruangan. Persis di atas mereka tergantung sebuah rumah-rumahan atau balai dari bambu berisikan makan-makanan.

Tiga pemimpin besale atau disebut datuk alias dukun mengawali tarian sambil mengelilingi Mima. Mereka mengucapkan doa-doa dalam bahasa rimba yang sulit diikuti, maupun dimengerti, sesekali mereka menyentuh dan mencium anak itu untuk menunjukkan rasa sayangnya.

"Doa-doa ini hanya dapat dinyanyikan serius, tidak bisa begitu saja diucapkan. Namun, artinya dapat saya katakan, kami sedang mengundang nenek moyang hadir di sini untuk membantu kesembuhan cucu kami," ujar Amid.

Sebagian besar tradisi orang rimba ini memang sangat dekat dengan mistik. Pada prosesi awal, misalnya, selama dua jam lebih mereka mengundang kehadiran roh nenek moyang dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian. Alat musik tabuhan terus mengiringi lantunan suara nyaring mereka.

Suasana riuh ini baru mereda setelah tiga datuk berkain dan bersorban putih duduk bersila. Mereka membeberkan sumber penyakit yang dialami Mima. Salah satu datuk mengatakan, Mima sakit karena selama ini kurang mendapat perlakuan baik dari orangtuanya. Makanan yang diberikan kepadanya sangat tidak memadai. Kondisi yang tidak berpihak kepada Mima ini berlangsung cukup lama sehingga menyebabkan Mima sakit.

Prosesi kemudian dilanjutkan kembali oleh tarian-tarian, dengan lilin menyala di sekeliling mereka. Padi yang telah dibakar disebarkan ke semua orang. Sejumlah balai berisi makanan, seperti balai kurung, balai mun, balai angin, balai pengasuh, dan balai pengadapan, diturunkan dari ikatannya di langit-langit ruangan.

Riuh kembali ditutup oleh keheningan. Datuk pun membeberkan bahwa Mima dapat sembuh, tetapi ada syaratnya. Satu minggu setelah Mima sembuh, semua warga rimba setempat harus menggelar pesta sebagai tanda syukur, sedangkan sembilan balai berisi makanan yang digantung di langit-langit rumah harus dinikmati bersama oleh semua warga. Dan yang terakhir, kedua orangtua wajib merawat Mima dengan sebaik-baiknya, tanpa perlakuan yang kasar.

Tak terasa, sang fajar mulai datang. Mereka menutup seluruh prosesi itu dengan ucapan syukur, makan bersama.

Tidak mudah

Masyarakat rimba di Sungai Bahar adalah kaum yang terusir dari hutan yang selama ini mereka sebut "rumah". Seingat Amid yang kini berusia sekitar 70 tahun, sejak tahun 1990-an ia dan rombongannya sudah tiga kali bermigrasi yang disebabkan oleh pembukaan hutan menjadi kebun sawit. Amid awalnya tinggal di hutan daerah Markanding. Lalu, karena wilayah itu akan dibangun kebun sawit oleh PT Perkebunan Negara, mereka ditawari program transmigrasi sosial ke Dusun Sungai Dayoh. Mereka akan dipekerjakan sebagai buruh plasma.

"Kami menolak tawaran itu karena kami ini orang-orang yang tinggal dalam hutan, bukan di dusun," tuturnya.

Dari situlah keberadaan Amid dan masyarakat rimba semakin terimpit. Ketika PT Asiatic membuka lahan sawit baru, Amid dan warganya terpaksa kembali terusir, dan mencari hunian lain yang masih berupa hutan.

Tak terasa hutan mereka terus ditebangi pohon-pohonnya oleh para pembalak liar. Perambahan juga kian meluas. Ini mengakibatkan sumber-sumber makanan orang rimba kian sulit didapat. "Kalau dulu kami makan ayam atau rusa, tidak susah. Ada banyak rusa dalam rimba. Tapi sekarang, makanan sulit didapat. Kami sering kelaparan," tuturnya.

Perubahan alam akibat ulah manusia membuat kehidupan orang rimba kian sulit. Menurut Amid, orang rimba mati karena sakit dan kelaparan sudah kerap terjadi. "Dokter keliling tidak pernah kemari. Kami pun takut dicucuk jarum suntik. Kami lebih pilih obat akar-akaran atau daun-daun pahit dari hutan," tuturnya.

Ketika obat-obatan tradisional tidak mempan menyembuhkan penyakit, orang rimba masih memiliki pengharapan terakhir, yaitu besale. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Untuk itu, manusia harus menghormati roh, dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi.

Gelisah

Akan tetapi juga muncul kegelisahan, bahwa tradisi yang telah mengakar sepanjang hidup mereka kini menjadi tradisi yang makin sulit dilaksanakan. Pasalnya, untuk menjalankan tradisi ini, dibutuhkan berbagai sesaji yang kini semuanya tak mudah didapatkan di dalam hutan. Orang rimba harus mengeluarkan uang yang mereka sendiri sulit mendapatkannya, untuk belanja di pasar.

"Untung saja masih ada keluarga yang mau menolong, memberikan kami uang untuk beli sesaji. Kalau tidak, susah payah betul untuk melaksanakan besale ini," tutur Susi, ibu Mima.

Entah sampai kapan tradisi ini dapat bertahan, di tengah keterimpitan hidup orang rimba.

Catatan :

Masyarakat Suku Anak Dalam di Sungai Bahar tengah berjuang bersama Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional dan LSM SETARA di Jambi untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka seluas 2000 - an hektar yang hingga dewasa ini diusahai oleh PT. Asiatic Persada, anak perusahaan WILMAR Groups Malaysia.

Pihak Kantor Wilayah Badan pertanahan Nasional Propinsi Jambi tengah mengadakan penelitian guna menyimpulkan keberadaan hak atas tanah di lokasi tersebut.

Rebutan Lahan Negara, Masyarakat dan Perusahaan Swasta di Jambi Bersengketa


Jumat, 03 Agustus 2007


Jambi, Kompas - Sengketa lahan milik negara antara masyarakat dan perusahaan swasta masih terus berlanjut di Kabupaten Batanghari, Jambi. Warga yang mengklaim pemilik tanah negara mengajukan tuntutan terhadap perusahaan untuk segera mengembalikan tanah yang selama ini mereka kelola.

"Kami telah mendapat legalitas hak mengolah tanah negara, tetapi tanaman kami belum lagi dipanen, sudah diserobot oleh pengusaha bermodal besar," tutur Umar (56), petani di Desa Olak Rambahan, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari, kemarin.

Di Desa Olak Rambahan, seluas 341 hektar tanah negara diperebutkan. Menurut Umar, 80 keluarga setempat yang membentuk Kelompok Tani Rambahan Jaya mendapat hak kelola lahan untuk dua tahun dan paling lama selama tiga tahun.

Hak ini selanjutnya dapat diperpanjang mengingat petani tidak merasa membutuhkan adanya kesepakatan berikutnya. Pasalnya, pada saat masa hak kelola habis, para petani telah memanfaatkan lahan itu menjadi kebun karet secara berkelanjutan.

"Tetapi, belum lagi karet dipanen, PT WKS (Wira Karya Sakti) sudah menggusur seluruh tanaman kami. Perusahaan mengklaim pihaknya yang paling berhak, sementara petani adalah pemakai lahan secara liar," tutur Umar.

Oleh karena itu, menurut Ismail, ketua kelompok tani setempat, mereka menuntut agar perusahaan mengembalikan hak para petani tersebut. Perusahaan yang sebelumnya telah mengusir petani harus hengkang dari lahan negara tersebut.

Punya izin

Kurniawan dari Bagian Humas PT WKS mengemukakan, perusahaan telah mendapat izin dari negara untuk memanfaatkan tanah tersebut. Pihaknya bahkan telah membayarkan ganti rugi kepada masyarakat pada tahun 1995. Oleh karena itu, sangat disesalkan apabila ada kelompok masyarakat yang masih menuntut ganti rugi kepada perusahaannya.

Menurut dia, pemerintah juga telah mengeluarkan surat keterangan yang berisikan pihak perusahaan memang telah memberikan ganti rugi kepada petani sehingga mestinya masalah ini tidak dipersoalkan kembali.

Suku Anak Dalam

Penyerobotan lahan juga dikeluhkan masyarakat Suku Anak Dalam di Desa Markanding, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi. Mereka memprotes sebuah perusahaan yang mengubah tanah adat mereka menjadi areal perkebunan sawit.

Ratusan keluarga yang sebagian besar tinggal di sekitar aliran sungai tersier berinduk pada Sungai Bahar telah tergusur dari tanah mereka, sementara kebun warga telanjur ditebangi. Antara lain jernang, karet, duren, dan rambutan telah habis. Padahal, perkebunan rakyat itu merupakan tempat untuk mencari makan bagi Suku Anak Dalam.


Suku Anak Dalam Menolak Keberadaan Kebun Sawit


Sumatera Bagian Selatan
Selasa, 26 Juni 2007

Jambi, Kompas - Masyarakat Suku Anak Dalam atau SAD di Desa Markanding, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, menentang pembukaan lahan perkebunan sawit di atas tanah adat mereka. Pasalnya, pihak perusahaan tidak menepati janji untuk membangun infrastruktur jalan di daerah itu.

Unjuk rasa masyarakat yang berjumlah sekitar 50 orang tersebut berlangsung sejak pukul 08.00 di Kantor Badan Pertanahan Negara Provinsi Jambi, Senin (25/6). Dialog kemudian digelar Bagian Penyelesaian Sengketa Agraria BPN Jambi Khaerul hingga berakhir sekitar pukul 15.00.

Kutar (56), warga SAD yang ikut berunjuk rasa, mengemukakan, lahan warga diambil alih oleh perusahaan sawit PT BDU sejak 1985. Pada saat itu, sebagian besar warga mau memberikan tanah mereka untuk dikelola menjadi kebun sawit dan kebun cokelat, karena pihak perusahaan menjanjikan bakal membangun infrastruktur dan membuka akses desa ke kota.

Namun, hingga perkebunan tersebut dialihkan ke perusahaan lain, PT AP pada tahun 2003, janji-janji tersebut belum ditepati hingga kini. "Untuk itulah, kedatangan kami ke sini adalah menuntut kejelasan yang sudah tujuh tahun lamanya belum kami dapatkan," tutur Kutar.

Menurut dia, ratusan keluarga yang sebagian besar menetap di sekitar aliran sungai tersier yang berinduk pada Sungai Bahar, telah tergusur. Sementara kebun warga telanjur ditebangi, antara lain ditanami jernang, karet, duren, dan rambutan.

Penghasilan sehari-hari dari kebun tersebut cukup besar. Misalnya, untuk satu hingga dua kilogram jernang harganya mencapai Rp 1,5 juta per kilogram.

Warga yang tergusur akhirnya tinggal dalam hutan di luar perkebunan. Mereka justru menjadi perambah di tempat lain.

Catatan :

Masyarakat Suku Anak Dalam dari Desa Markanding, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambitergabung dalam organisasi Gerakan Suku Anak Dalam Kelompok 113 yang merupakan jaringan Serikat Tani Nasional di Prop. Jambi.

Salah satu kesepakatan yang didesakkan SAD kepada BPN Prop. Jambi adalah penyelesaian konflik agraria dengan melakukan pengukuran ulang terhadap tanah rakyat. Kegiatan ini akan dipimpin oleh BPN dengan melibatkan SAD dan dibiayai dari APBD kabupaten setempat. Sebelum akhir Juli 2007, kegiatan tersebut sudah berakhir dan hasilnya akan dikaji lebih mendalam sampai dilakukannya legalisasi/pengakuan atas tanah SAD dengan cara meng-enclave dari areal perkebunan.