Kamis, 20 Agustus 2009

Berita Dari Jawa Barat

Tanaman Perhutani Tidak Dirawat


GAMBAR tanaman padi ladang yang menguning milik petani penggarap di Kutatandingan. Di antara tanaman padi terdapatlah ratusan bibit jeunjing/sengon dan mindi yang ditanam Perhutani dengan jarak tanam 2 x 3 meter. Bibit tersebut ditandai dengan ajir/bambu tegak yang tertutup plastik hitam di atasnya.

-------

KARAWANG. Sejak awal musim hujan yang lalu hingga sekarang, Atan Nurmana jaya [39] dan kelompok petani penggarap Kutatandingan tengah berada dalam kebimbangan. Meraka bertanya-tanya dalam benaknya, seriuskah KPH Perum Perhutani bagian hutan Ciampel dan Pangkalan melakukan pemeliharaan tanamannya?

Akhir November tahun lalu, sejumlah petugas Perum Perhutani memaksa penanaman ribuan tanaman kayu berjenis jeunjing/sengon [Paraserianthes falcataria] dan mindi [Melia azzedarah] di tengah-tengah areal peladangan milik Kang Atan dan kawan-kawannya. Berdasarkan penuturan Perhutani, areal penanaman tersebut termasuk dalam Petak 39 bagian hutan Teluk Jambe [Baca Perhutani Memaksa Menanam].

Kini sejumlah jeunjing/sengon dan mindi itu tak terawat. Bibit yang sudah ditanam dibiarkan teronggok tak terurus. Di sana-sini nampak rumput liar melilitinya. “Tak seorangpun dari petugas Perhutani yang memelihara”, tambah Kang Atan.

“Kamipun juga tak merasa memiliki tanaman itu. Karena sedari awal, Perhutani tak mengajak kami berunding dan mendengarkan kami”, lanjut salah satu pimpinan kelompok tani penggarap itu. Oleh karenanya, para petani penggarap tersebut tetap melanjutkan usaha peladangan di sela-sela tanaman Perhutani. “Namun, kami tetap melakukan konsolidasi untuk menghadapi hal-hal yang mengancam kelangsungan garapan di sini. Jika Perhutani tetap berkeras pada kami, kami telah menyiapkan diri untuk perjuangan”, tambahnya.

ia dan kawan-kawannya mengerti persis bahwa status hukum areal yang meraka garap adalah kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani .Meskipun kini tersebut telah ditelantarkan Perhutani sejak pemanenan kayu jati di tahun 1997-1998, namun status sebagai kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan adalah tetap di mata hukum.

Jadi, organisasi massa legal petani yang beranggotakan Kang Atan dan kawan-kawannya tengah menyiapkan diri untuk perjuangan reform social-ekonomi untuk menurunkan sewa tanah. Salah satu caranya adalah mendesak pada KPH Perum Perhutani setempat agar menyelenggarakan pembagian hasil yang adil atas tanaman jeunjing/sengon dan mindi. Selain itu, jarak tanam antar jeunjing/sengon atau mindi patut diperlebar menjadi 4 x 12 meter untuk keleluasaan usaha pertanian tanaman semusim bagi petani penggarap.

Sementara di sisi lain, kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat [PHBM] telah dialamatkan oleh pimpinan Perum Perhutani sebagai jalan tengah mengatasi sengketa dengan masyarakat yang hidup di sekitar/dalam kawasan hutan. Kebijakan bernomor : 136/KPTS/DIR/2001 memiliki semangat untuk membangun kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Benarkah demikian?

Ibarat pepatah yang menyatakan jauh panggang dari api, kenyataan tersebut berbeda di lapangan. Paling tidak, apa yang tengah di alami oleh Kang Atan dan kawan-kawannya menunjukkan kenyataan tersebut.

Patut diduga kuat bahwa PHBM memungkinkan terjadinya mobilisasi tenaga kerja murah. Tenaga kerja ini ditujukan untuk usaha produksi di atas lahan yang dikelola Perum Perhutani. Sebagai gantinya, tenaga kerja diupah lewat bagi hasil pada saat pemanenan tanaman kayu beberapa tahun mendatang dan izin menggarap usaha pertanian di sela-sela tanaman Perhutani, tanpa merusaknya.



Kajian Umum Pangan

GAMBAR jalanan rusak di sekitar areal persawahan Kobak Gabus, Desa Medan Karya, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat. Pembenahan infrastruktur perhubungan maupun sarana pendukung lainnya patut menjadi perhatian penting demi meningkatkan kualitet produksi pertanian rakyat.

-----

Penelitian Awal Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional 2009

Pangan adalah masalah kunci bagi umat manusia dalam melangsungkan hidupnya. Selama kunci ini belum terpecahkan, maka kehidupan manusia juga belum terjamin kelangsungannya.

Jaman dahulu orang menentukan tempat hidup berdasarkan ketersediaan sumber pangan di suatu wilayah. Apabila tempat tersebut tidak dapat menyediakan pangan, mereka akan berpindah ke tempat yang memungkinkan sumber pangan untuk melanjutkan hidupnya. Tahapan selanjutnya, ketika peradaban berkembang dan kebutuhan hidup semakin beragam, seseorang yang memiliki bahan pangan akan menukarkan bagian yang dimilikinya untuk mendapatkan barang keperluan hidupnya. Itulah masa di mana penduduk bumi belum sepadat sekarang dan kehidupan masyarakat masih dalam corak yang sederhana.

Seiring perkembangan ekonomi dan politik umat manusia, kini pangan menghadapi persoalan yang kompleks. Pangan telah melampaui batas wilayah dan negara, dalam satu sistem distribusi yang luas dan timpang. Orang yang hidup di daerah kering dan saat kemarau buminya sulit menghasilkan makanan, atau orang yang tingal jauh dari sumber pangan, tetap memungkinkan untuk mengaskses makanan berkat adanya sistem distribusi dan perdagangan yang berkembang. Pangan menjadi komoditi paling besar dan luas dalam sistem pasar (liberalisasi), serta paling intensif diperdagangkan. Ketika alam dipandang sebagai sumber daya ekonomi dan pangan menjelma komodoti, maka akses pangan menjadi jalur yang memunculkan kontradiksi kepentingan yang kian tajam.

Pada akhir September 2006 Indonesia kembali akan mengimpor beras sejumlah 210.000 ton. Meski beberapa pihak menyatakan jumlah tersebut kecil, tak diragukan lagi, impor adalah tindakan yang menistakan petani dan menghancurkan dunia pertanian jika stok beras sesungguhnya masih berada di level aman.

Tapi, dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2,7 juta jiwa per tahun, jika diasumsikan konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia di masa akan datang sama dengan konsumsi per kapita tahun 2004 sebesar 136 kg, Indonesia akan membutuhkan tambahan pasokan beras 360.000 ton setiap tahunnya. Dengan demikian, sebagai contoh, pada tahun 2010 Indonesia akan membutuhkan suplai beras 1,4 juta ton lebih banyak dari kebutuhan saat ini. Dengan asumsi pertumbuhan produktivitas padi 2 % per tahun dan faktor lainnya tetap, pada tahun itu hanya dihasilkan tambahan produksi 800.000 ton lebih besar dari saat ini. Jadi, pada tahun itu kita akan kekurangan beras sekitar 600.000 ton.

I. Krisis Pangan Dalam Negeri

Pertama, dalam sepuluh tahun terakhir tidak terdapat peningkatan luas panen padi yang signifikan. Yang terjadi adalah sebaliknya, konversi lahan pertanian pangan menjadi lahan non-pertanian, baik yang terjadi dengan proses jual-beli maupun dengn jalan paksaan (menggusur/land-grabbing).

Penelitian yang dilakukan Serikat Tani Nasional di awal 2009 mengandung asumsi dasar bahwa saat ini terjadi peningkatan jumlah petani tak bertanah secara luar biasa karena mengecilnya rata-rata penguasaan lahan pertanian keluarga petani.

Pada tahun 1983 rata-rata kepemilikan sejumlah 0,93 ha, dan menjadi 0,83 ha pada tahun 1993. Di luar pulau Jawa menurun dari 1,38 ha menjadi 1,19 ha, dan di Pulau Jawa menurun dari 0,58 ha menjadi 0,47 ha, dan sekarang angka ini diperkirakan merosot menjadi 0,3 Ha. Sementara sebagian besar keluarga petani (43%) merupakan kelompok petani tunakisma atau petani miskin yang memiliki lahan pertanian kurang dari 0,1 ha.

Berdasarkan data BPN (Badan Pertanahan Nasional) telah terjadi alih fungsi lahan pertanian di Pulau Jawa untuk permukiman dan industri antara tahun 1994-1999, seluas 81.176 ha terdiri dari permukiman seluas 33.429 hektar dan industri seluas 47.747 ha. Alih fungsi tanah pertanian tersebut yang terluas di Jawa Barat (79,41%), Jawa Timur (17,01%), Jawa Tengah (2,69%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (0,89 %).

Besar kemungkinan kecenderungan ini terus berlanjut karena usaha perluasan selalu menghadapi persoalan pelik. Secara umum, padi akan bagus hasilnya jika ditanam di Pulau Jawa dan Bali. Rata-rata produksi padi di dua pulau ini paling tinggi dibandingkan dengan pulau lain, mencapai lebih dari 5 ton per hektar. Sementara rata-rata produksi di pulau lain 2-5 ton per hektar (Badan Pusat Statistik, 2005). Namun, ekspansi areal persawahan di Pulau Jawa dan Bali harus berkompetisi dengan kepentingan lain, seperti perumahan dan industri. Dalam kompetisi ini, kepentingan penggunaan lahan untuk sawah hampir pasti tersisih, terutama karena pertimbangan untung-rugi. Maka, yang terjadi bukanlah ekspansi, melainkan alih fungsi lahan sawah ke nonsawah.

Adapun di luar Jawa, usaha untuk mengembangkan areal tanam padi telah dilakukan sejak lebih dari tiga puluh tahun lalu, mulai dari proyek rice estate di Palembang hingga proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan. Sebagaimana diketahui, semua usaha tersebut gagal total. Ini menunjukkan betapa muskilnya mengembangkan areal sawah baru di luar Pulau Jawa.

Kedua, pertumbuhan produktivitas padi cukup rendah, kurang dari 2 % per tahun dalam 15 tahun terakhir (International Rice Research Institute, 2005). Meski hampir semua teknologi yang ada di dunia sudah diterapkan dan diadopsi oleh Indonesia, yang membuat usaha tani padi di Indonesia menjadi terefisien di Asia Tenggara dan lebih produktif dibandingkan dengan produksi rata-rata Asia bukan pekerjaan mudah untuk meningkatkan produktivitas padi ini. Apalagi jika mengingat efisiensi lahan sawah, terutama di Jawa, sudah mendekati jenuh dan keletihan (soil fatique).

Ketiga, sulit diharapkan adanya terobosan teknologi yang tepat guna dalam waktu dekat. Padi hibrida yang direncanakan menjadi andalan untuk menggenjot produksi juga masih penuh kontroversi. Butuh waktu lama untuk mengetahui apakah padi hibrida ini dapat memenuhi seluruh persyaratan teknis dan ekonomis agar bisa ditanam di Indonesia.

Keempat, sejumlah daerah sentra produksi padi dilanda bencana yang berujung pusonya padi. Perubahan ikim sangat mempengaruhi usaha tani. Bila pada masa sebelumnya produksi beras utama dihasilkan pada empat bulan panen raya (Februari-Mei), yang mencapai 60-65 persen dari total produksi nasional. Produksi berikutnya dihasilkan pada musim panen gadu pertama (Juni-September) dengan produksi 25-30 persen. Sisanya dihasilkan pada musim panen Oktober-Januari. Kini, irama tanam dan panen bagi petani serba tak menentu.

II. Pemerintah Melakukan Impor Beras; Jalan keluar Tambal Sulam

Di tengah dilema pangan nasional, impor beras adalah jalan yang diambil oleh kalangan pemerintahan. Persetujuan impor beras kepada Perum Bulog yang tertuang dalam surat Menteri Perdagangan Nomor 760/M-DAG/9/2006 juga menyebutkan kepastian kedatangan beras impor di pelabuhan tujuan beserta informasi jumlah dan kapal pengangkutnya harus dilaporkan kepada Ditjen Bea Cukai, Departemen Keuangan yang ditembuskan pada Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Depdag, sepekan sebelum impor dilakukan.

Sepuluh kota/pelabuhan masuk beras impor tersebut adalah Lhokseumawe, NAD (18 ribu ton); Belawan, Sumatera Utara (22 ribu ton); Dumai, Riau (16 ribu ton), Padang (Teluk Bayur), Sumatera Utara (12 ribu ton); Ciwandan, Banten (untuk Bengkulu, Lampung dan Kalimantan totalnya 52 ribu ton); Balikpapan, Kalimantan Timur (14 ribu ton); Kupang, NTB (34 ribu ton); Bitung, Sulawesi Utara (24 ribu ton); Sorong, Irian Jaya Barat (12 ribu ton); dan Jayapura, Papua (6.000 ton).

III. Memulihkan Pangan Nasional; Sebuah Rekomendasi

Kaum tani adalah populasi yang terbesar di Indonesia. Menurut data Bappenas, melalui Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2003, jumlah petani diperkirakan mencapai 44,5 juta jiwa. Dengan jumlah ini, kaum tani adalah kekuatan produktif yang paling besar dibanding buruh manufaktur (12 juta jiwa), buruh niaga (19,4 juta jiwa), jasa (11,3 juta jiwa), dan sektor lainnya (11,8 juta jiwa). Namun kenyataan di lapangan, setelah 60 tahun republik ini merdeka, menunjukkan bagaimana sektor pertanian diperas, dipinggirkan, dijadikan tumbal pembangunan, dan dimiskinkan secara ekonomi dan dimandulkan kekuatannya secara politik.

Dalam pandangan Serikat Tani Nasional, untuk mencapai apa yang dimaksud kedaulatan petani sebagai prasyarat ketahanan pangan nasional mengandung 3 pokok pikiran sebagai jalan keluar kebijakan mengurus pertanian nasional,
  1. Pertama, pelaksanaan landreform sejati sebagai akar penguasaan alat produksi (tanah) yang kian hari kian sempit mengerogoti lahan petani. Dalam pengertian lain, suatu program nasional untuk mengangkat petani miskin dan buruh tani menjadi petani menengah yang lebih sejahtera dengan penguasaan tanah yang mencukupi syarat-syarat melangsungkan kehidupan sebagai keluarga petani.
  2. Kedua, pembenahan budidaya tanaman pertanian untuk mewujudkan sistem pertanian yang berdikari dan lestari.
  3. Ketiga, menggalakkan program diversifikasi pangan berbasis sistem budaya pangan lokal.
Serikat Tani Nasioanl juga menilai bahwa impor beras justru memiliki mata rantai negatif yang panjang: larinya devisa, disinsentif terhadap petani, mubazirnya sumberdaya domestik dan yang lain.

Sebetulnya, masalah ini bisa selesai apabila Perum Bulog menyerap beras sesuai target dengan harga berapa pun. Tapi karena dituntut untung, Perum Bulog lebih mengedepankan aspek bisnis.


Perhutani Memaksa Menanam

FOTO eblek [bahasa Sunda = plang dari seng] yang dibuat oleh Perhutani bertuliskan Dilarang mengerjakan dan atau menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah – UU RI no. 41 Tahun 1999.

-----

KARAWANG. Sebelumnya tak sebatangpun tanaman keras yang diproduksi Perhutani tumbuh di areal blok 39 yang dikenal petani penggarap sebagai wilayah Tegal Datar, Kutatandingan. Atan Nurmana Jaya [39], aktifis Serikat Tani Nasional setempat, menuturkan bahwa Perhutani telah menelantarkan tanah di kawasan tersebut setelah memanen kayu jati di tahun 1996 yang lalu.

“Kami kelola tanah terlantar ini untuk ditanamai padi gogo, kacang-kacangan dan pisang. Untuk menyuburkan tanah, kami juga tanami dengan kayu seperti jeunjing/sengon, kapuk randu dan bambu . Karena kami sudah tak punya tanah lagi di desa asal”, tambah Kang Atan. Ia dan puluhan petani lainnya memilih menggarap di kawasan hutan terlantar tersebut demi menghidupi keluarga.

Kini musim hujan telah tiba. Di tengah Kang Atan dan kawan-kawan bersiap untuk mengolah lahan tiba-tiba pihak Perhutani juga bersiap-siap mananami lokasi tersebut dengan jeunjing/sengon. “Ini adalah implementasi dari kebijakan Pengelolaan hutan Bersama Masyarakat [PHBM]”, kata Rahmat [47] selaku kepala BKPH Telukjambe Perum Perhutani KPH Purwakarta yang mengampu wilayah hutan terlantar tersebut. Progam tersebut diselenggarakan bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Desa Parung Mulya Kec. Ciampel, Karawang. “Jadi kami sudah berkoordinasi dengan pihak masyarakat”, aku Rahmat.

Benarkah demikian? Ternyata tidak menurut para petani penggarap hutan.

“Tiba-tiba pada hari Minggu, 16 November lalu kami dikumpulkan oleh Mantri dan Mandor [aparatus Resort Pemangkuan Hutan. Red] setempat. Lalu mereka bicara bahwa akhir bulan mau menanam pokok jeunjing/sengon di sin”, jelas Enting [42] salah satu anggota kelompok tani penggarap. Dalam acara tersebut juga hadri para pengurus LMDH dan para tokoh masyarakat.

Para petani penggarap jelas tidak setuju atas rencana tersebut. Mengingat jarak tanam 2x3 m antar pokok jeunjing/sengon yang sangat rapat dan tak memungkinkan tumbuh kembangnya tanaman milik petani secara baik. Di sisi lain, bagi hasil atas panen tanaman pokok tersebut dinilai jauh dari rasa keadilan oleh kalangan petani penggarap yakni 80% untuk Perhutani dan 20% untuk masyarakat. “Dua puluh persen dari bagi hasil panen itu sudah cukup sebagai tanda terima kasih kami kepada petani”, sambung salah seorang mandor Perhutani bernama Abrakjagat [37].

Jaka [45] selaku ketua LMDH manyatakan bahwa penanaman harus terus dilanjutkan, khususnya di petak 39 Tegal Datar. “Surat Perintah Kerja dari KPH Purwakarta sudah turun dan tak mungkin dibatalkan”, sergahnya menanggapi keberatan petani. Menurutnya, Perhutani sudah berbaik hati membolehkan petani menggarap di kawasan hutan dan sudah seharusnya petani menghargai dengan merawat tanaman pokoknya. Para tetua masyarkatpun setali tiga uang dengan pendapat Jaka. “Memang mereka lebih berpihak pada perhutani daripada masyarakat”, sambung Enting lirih.

LMDH yang ada tidak terbentuk dari partisipasi petani penggarap hutan. Tak heran, perannya pun hampir tak terdengar dalam melayani kepentingan masyarakat yang diampunya. Namun ia cenderung memiliki kekuatan pemaksa bagi petani alih-alih legitimasi yang dimilikinya. Bahkan Kang Atan menyampaikan temuan yang menyebutkan maraknya keterlibatan pegiat lembaga tersebut memungut sejumlah uang tak resmi pada petani penggarap hutan. [Baca Pemungut Pajak Di kutatandingan].

Kini Perhutani telah memulai penanaman tersebut. Kurang lebih sebanyak seribu batang pokok jeunjing/sengon telah ditancapkan. Anehnya, justru kebun milik Kang Atan dan Enting-lah yang pertama kali mereka tanami.

“Kami tidak akan surut. Jarak tanam harus diperlebar dan bagi hasil yang adil bagi petani penggarap”, tandas Kang Atan. Kini ia dan kawan-kawannya tengah menggalang konsolidasi luas untuk memperjuangkannya.

Kang Atan dan kawan-kawannya adalah golongan petani yang bekerja di atas sebidang tanah untuk memenuhi kepentingan subsistennya. Akan tetapi mereka dipaksa memeliharan tanaman pokok Perhutani dengan upah 20% hasil panen pada 6-7 tahun mendatang. Dalam periode itulah jeunjing/sengon baru memasuki masa panen.

Hal ini tak ubahnya menyerahkan sebagian hasil kerja dan tenaganya untuk merawat jeunjing/sengon dengan upah yang tak layak. Tidaklah keliru bila disebut PHBM adalah salah satu bentuk perampasan kerja kaum tani penggarap yang dilakukan Perhutani selaku tuan tanah tipe baru. Keadaan ini menjelaskan secara nyata bentuk kekuasaan klas tuan-tanah dalam hubungan produksi feodalisme. Dan apa yang menimpa Kang Atan dan kawan-kawannya tak ubahnya nasib kaum tani hamba pada abad pertengahan yang lampau.

Kawasan kutatandingan termasuk areal hutan warisan kolonial Belanda di masa lalu. Tujuan pendiriannya jelas-jelas bermaksud melakukan produksi besar-besaran kayu jati/tekwood untuk pasar Eropa. Bahkan sejak masa kemerdekaan hingga 1996, negara RI melalui perhutani tetap menjadikan kayu jati/teakwood sebagai primadona ke pasar internasional. Di sinilah peran negara RI selaku pemasok bahan mentah bagi kepentingan imperialisme, sekaligus pasar potensial atas barang-barang komoditasnya.

Kini Kutandingan tak lagi memiliki jati/teakwood. Tapi tanaman cepat tumbuh seperti jeunjing/sengon, akasia dan mindi tengah dikembangkan oleh Perhutani di kawasan ini. Jenis tersebut di arahkan memenuhi kepentingan bahan baku industri pulp & paper untuk pasar dunia. Dengan demikian makin teranglah kepentingan imperialisme atas kawasan Kutatandingan lewat pertalian yang erat dengan tuan tanah tipe baru dan para penyelenggara negara.

Inilah tipikal indonesia, negeri setengah jajahan setengah feodal.



Mengabdi Dan Melayani Siapa?

FOTO sebagian persawahan di Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka yang akan dijadikan kawasan pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat. Rencananya sebanyak lima ribu hektar sawah akan dibebaskan.

-----

SUKAMULYA. Pada awalnya warga Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka benar-benar larut dalam sukacita. Wajah gembira terpancar dari raut kaum tua dan muda. Tak henti-hentinya mereka membanggakan diri sebagai penentu kemenangan bagi yang mereka dukung.

Apa pasal ini semua? “Kami senang karena Sutrisno dan Karna Sobahi menang”, jelas Abah Herry [62]. Keduanya adalah pasangan calon bupati dan wakil bupati yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala daerah pada Oktober 2008 lalu. Yang makin membuat Abah Herry dan para anggota Forum Komunikasi Rakyat Bersatu [FKRB] bersemangat ialah kesediaan pasangan kepala daerah tersebut untuk menolak kehadiran Bandara Internasional Jawa Barat [BIJB] di Desa Sukamulya.

Namun tidak demikian yang terjadi pada 12 Desember 2008. Pemerintah provinsi Jawa Barat tetap bermaksud menyelesaikan pembebasan lahan untuk BIJB di Kecamatan Kertajati pada 2009 [Baca artikel dalam Koran Seputar Indonesia 12 Desember 2008 berjudul Tahun Depan Pembebasan Lahan Tuntas].

Sudah barang tentu pemberitaan tersebut mencederai kepercayaan warga Sukamulya dan FKRB.

Pada awal Agustus silam, Abah Herry mengemukakan adanya pemotretan udara di atas Sukamulya yang diduga kuat sebagai bahan penyusunan rancangan BIJB. “Kamipun memperoleh informasi bahwa telah disiapkan kucuran dana untuk pembebasan lahan”, tambahnya. Selang beberapa minggu kemudian datanglah beberapa orang yang mengaku dari Dinas Lingkungan Hidup Provonsi Jawa Barat. Mereka juga bermaksud melakukan penelitian berkenaan akan dibangunnya BIJB. Namun pihak Kuwu/kepala Desa Sukamulya dan anggota FKRB menolaknya.

Kini saatnya pasangan Bupati Sutrisno – Wakil Bupati Karna Sobahi diuji dalam kenyataan politik pembangunan BIJB. Melayani kehendak rakyat atau takluk pada perintah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan?

Secara lengkap, kebijakan, BIJB merupakan implementasi pengembangan wilayah Jawa Barat (Wilayah Ciayu Majakuning), sesuai dengan konsep pengembangan secara nasional dan Rencana Tata Ruang Jawa Barat. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka diharapkan tercipta beberapa kondisi seperti pertama, terjadinya percepatan pertumbuhan investasi yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Kedua, kebijakan tersebut merespon kebutuhan masyarakat dan dunia usaha dalam pemanfaatan outlet udara. Ketiga, meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Barat. Keempat, peningkatan pelayanan jemaah haji asal Jawa Barat dan sekitarnya dan pariwisata Jawa Barat [Baca Rencana Pembangunan Bandara].

Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN] berpandangan bahwa pembangunan BIJP berpotensi mengancam ketersediaan pangan keluarga petani yang menjadi korban. Lebih lanjut, BIJB sangat bertujuan pada kepentingan kalangan pemilik modal dibandingkan golongan rakyat yang lainnya. Karena bandara tersebut diperuntukkan sebagai penarik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri dengan jalan memberikan fasilitas infrastruktur transportasi dan perhubungan.

Pelayanan tersebut sekaligus mengorbankan sekurangnya lima ribu hektar persawahan produktif yang telah lama dikelola. Pada akhirnya, perampasan tanah atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat justru makin meminggirkan kaum tani. Golongan rakyat tak bertanah akan semakin bertambah besar hingga pada akhirnya kemiskinan semakin merajalela di pedesaan.

Sekiranya yang patut dilayani adalah sarana yang menunjang langsung proses produksi rakyat. Dalam kasus Sukamulya, kepentingan kaum tani miskin dan buruh tanilah yang menjadi perhatian utamanya. Mengingat luasnya areal persawahan yang ada masih menyisakan hubungan produksi feudal maka tepat kiranya bila upah buruh tani dinaikkan setara dengan penghidupan layak dan harga sewa tanah diturunkan sesuai dengan dayabeli tani miskin. Hal ini dimaksudkan agar kaum tani miskin dan buruh tani dapat berperan lebih nyata dalam proses produksi pertanian yang adil. Di sisi lain, akan jauh lebih baik apabila negara juga mengikutsertakan layanan pengembangan usaha rakyat yang berbentuk koperasi pertanian sebagai dasar untuk mempertinggi produksi nasional dan pendapatan nasional.

Namun kiranya hal tersebut tidaklah mungkin terjadi. Karena dalam lapangan ekonomi politik, Negara Republik Indonesia hari ini adalah pelayan bagi kepentingan pemodal sebagaimana ditunjukkan dengan pendirian BIJB.

Sekali lagi inilah salah satu fragmen kusam di negeri setengah jajahan dan setengah feudal. Dan FKRB bersama KPP STN serta kalangan aktifis pemuda progresif di Majalengka tengah menggalang konsolidasi luas untuk menyelenggarakan perjuangan massa berkait perkembangan BIJB terakhir ini.

-----

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/195288/

Tahun Depan Pembebasan Lahan Tuntas

Friday, 12 December 2008

MAJALENGKA (SINDO) – Pemerintah Provinsi Jawa Barat berjanji menyelesaikan pembebasan lahan untuk Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kecamatan Kertajati pada 2009.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan, rencana pembangunan BIJB di Kecamatan Kertajati akan terus dilanjutkan.Pembangunan BIJB merupakan program pemerintah dalam rangka meningkatkan ekonomi. Dia berjanji akan melanjutkan rencana pembangunan BIJB itu.

”Kami akan lanjutkan pembangunan BIJB. Itu proyek pemerintah yang sudah jelas peraturannya,” ungkap Heryawan seusai melantik Bupati Sutrisno dan Wakil Bupati Karna Sobahi di Pendopo Majalengka,Jalan A Yani,kemarin.

Dia menyebutkan, Pemprov Jabar telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp400 miliar untuk pembebasan lahan BIJB di Kecamatan Kertajati.Menunggu pembebasan,dia mengaku terus mencari investor untuk mega proyek Jawa Barat tersebut.

Bupati Majalengka Sutrisno meminta Gubernur Jawa Barat selaku penanggungjawab rencana mega proyek itu secepatnya memberikan kepastian kepada masyarakat di Kabupaten Majalengka.

Menurutnya, rakyat Majalengka tidak menolak rencana tersebut namun rakyat meminta lokasi pemindahan penduduk tidak dipindahkan dari Kertajati. ”Ada konflik, khususnya penolakan warga.Warga yang menolak itu karena mereka tidak diberi kepastian atas lokasi pemindahan dari desa asalnya,”jelas Sutrisno.


Sewa Tanah Dan Para Bujang
FOTO kalangan bujang laki-laki dan perempuan yang tengah bekerja sebagai buruh panen padi di Kampung Kobak Gabus Desa Medan Karya Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karanwang, Jawa Barat.

-----

KARAWANG, STN. Siapa bilang bahwa feodalisme telah hilang di pedesaan? Praktek monopoli tanah oleh kaum pemilik masih mudah dijumpai di desa penghasil tanaman pangan. Salah satunya adalah Kampung Kobak Gabus Desa Medan Karya Kec. Tirtajaya yang terletak di pesisir utara Kab. Karawang. Tak satupun dari sejumlah 74 keluarga warga kampung yang memiliki sawah. Padahal mereka hidup di tengah hamparan kuningnya padi yang siap panen bulan ini.

“Dalam usaha tani tanaman pangan, khususnya padi, sistem bagi hasil jauh dari adil bagi para penyewa tanah dan rendahnya upah para bujang,” kata Agus Wahyudi [33] aktifis Serikat Tani Nasional di kampung tersebut. Bujang adalah sebutan bagi buruh tani. Sementara, tuan tanah mempekerjakan bujang melalui upah.

“Kira-kira, sehari mereka mendapatkan upah sebesar Rp. 25 ribu termasuk makan dan rokoknya. Sementara untuk bujang perempuan hanya Rp. 20 ribu,” terang Agus. Jangan dibayangan bahwa para bujang bekerja tiap hari per bulannya. Karena mereka biasanya hanya bekerja di saat musim tanam dan musim panen. Hal senada juga disampaikan Kang Martha [37] seorang buruh tani setempat.

Kang Martha menambahkan bahwa rata-rata para bujang di kampung tersebut bekerja untuk, sebutlah, Haji Nadi. Oleh warga desa ia dikenal sebagai orang kaya yang baik. Baik di sini dalam pengertian bahwa ia membuka lapangan pekerjaan dengan mengajak warga tak bertanah menjadi bujang. Konon, Sang Haji menguasai hampir 75% dari seluruh lahan persawahan desa.

Selain memiliki bujang, orang seperti Haji Nadi juga menyewakan tanah dengan pembayaran pembagian dari hasil panen. Perimbangannya sebesar 1:1 antara pemilik tanah dan penyewa. Pembagian tersebut masih bersifat kotor. Sang penyewa masih menanggung biaya modal usaha tani, seperti belanja pupuk, obat, benih dan sewa traktor jika diperlukan.

Tony Quizon, pejabat sementara International Land Coalition kawasan Asia, menyebutkan bahwa bagi hasil yang demikian pernah dialami petani filipina pada periode tahun 1960-an. “Now, it is more equal for Philiphino peasant. But That's not enough. Landreform is a must.” tambahnya saat bertemu STN pada Senin [23/06] di Jakarta.

“Oleh karena itu, para buruh tani yang berhimpun dalam kelompok sedang mengusahakan perjuangan bagi hasil yang lebih adil untuk petani penggarap dan menaikkan upah buruh tani. Apalagi kenaikan harga BBM bulan lalu sangat memukul buruh tani di kampung ini,” tegas Agus.

Beternak Itik

Untuk mencukupi penghasilan, para keluarga buruh tani memilih beternak itik yang digembalakan secara tradional. Ada hubungan yang saling menguntungkan antara itik dan padi. Itik tersebut cukup digembalakan di areal persawahan jika panen padi datang. “Tak jarang, kami harus ngangngon itik sampai ke desa tetangga bahkan ke Bekasi. Cari tempat yang sedang panen padi,” tambah Kang Martha.

Gabah sisa potong padi dan nggebot [merontokkan gabah] adalah pakan yang baik. Sehingga Sang pemilik itik tidak perlu biaya ekstra untuk membeli pakan buatan pabrik. Pakan pabrik hanya mereka gunakan untuk titit, sebutan bagi anakan itik, hingga usia dua bulan yang dicampur dengan bekatul, menir dan irisan daging kijing, sejenis kerang yang hidup di air payau.

Apa yang dimanfaatkan dari itik? “Telor untuk yang perempuan dan daging untuk yang jantan,”jawab Pak Lami [43]. Pengalaman memelihara dan menggembalakan itik selama sepuluh tahun terakhir telah mengubah Pak Lami dari seorang buruh tani menjadi pengusaha kecil yang sedikitnya memiliki 3000 ekor itik. Harga telor itik kini mencapai Rp. 1000/butir sementara dagung pejantan laku dijual Rp. 35.000,-/ekor untuk usia lima bulan.

Pertanian Padi Di Karawang

Pertanian padi di Karawang memiliki sejarah yang panjang. Ia dibangun sejak jaman mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Ketika itu pertanian berfungsi untuk menopang rencana mataram untuk melakukan serangan terhadap Batavia.

Karawang bagian pesisir utara merupakan salah satu daerah pertanian penting dan pemasok terbesar padi bagi kawasan di sekitarnya. Tetapi keadaan tersebut tidak menjadikan masyarakat hidup dalam kesejahteraan. Kemiskinan telah menyebabkan mereka menjual sawah dan bekerja sebagai buruh tani, penyewa tanah maupun buruh migran di luar negeri.

Sementara, banjir dan kekeringan senantiasa mengintai setiap tahunnya. Pada musim penghujan 2006, banjir telah menenggelamkan sekitar 3000 ha areal persawahan. Apabila dalam 1 ha menghasilkan 4 ton gabah, maka jumlah kerugian yang di derita petani di dalam kawasan tersebut berkisar 10.000 – 12.000 ton gabah. Dengan harga rata-rata gabah Rp. 1.800/Kg pada masa itu, ditafsir jumlah nominal kerugian yang diderita mencapai Rp. 21.600.000.000,00 per musim panen.

Tanggung Jawab Negara

“Negara patut bertanggung jawab untuk membantu golongan petani paling miskin di pedesaan dengan melaksanakan reforma agraria sejati [RAS]. Pukulan kenaikan harga BBM tidak cukup ditolong dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai semata,” tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Di lapangan pertanian tanaman pangan, RAS mengandung maksud bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri sebagaimana semangat Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 [UUPA] pada pasal 10 ayat 1 dan ayat 2.

Di samping itu, RAS juga berarti menjaminkan hak kalangan buruh tani dan tani miskin dengan menurunkan sewa tanah melalui kenaikkan bagi hasil yang lebih mencerminkan keadilan dan kenaikan upah buruh tani. Dari sisi usaha pertanian, RAS patut mengurangi bunga peribaan serta menaikkan harga produk pertanian kaum tani untuk menetralisasi pertengkulakan.

Dapatkah negara hari ini menjalankan UUPA dan RAS?



Buruh Migran Perempuan Dan Petani Miskin Dari Kampung Palasari

FOTO Bu Enting [52] dari Kampung Palasari yang tengah menggarap lahan di Kutatandingan. Peranserta kaum perempuan dalam produksi yang patut diapresiasi tinggi.

-----

KARAWANG, STN. Menjadi buruh migran di negeri orang adalah impian bagi para perempuan di kampung itu. Gaji yang besar sebagai pembantu rumah tangga adalah alasan mereka meninggalkan keluarga. Derita buruh migran teraniaya yang sering ditonton serta didengar dari berbagai media elektronik tak jua menyurutkan langkah. “Desa kami miskin. Kami gak mau ikut [menjadi] miskin,” tutur, sebut saja, Ito.

Ito adalah seorang perempuan muda berusia dua puluh lima tahun dan baru saja menikah pada bulan yang lalu. Sementara rata-rata perempuan seusianya di kampung telah memiliki beberapa orang anak. “Saya telat menikah karena ke Saudi selama tiga putaran,” jelasnya.

Sambil bercerita panjang lebar tentang pekerjaan rumah tangga yang takkala menjadi buruh migran di Saudi, Ito menuturkan bahwa hampir 90% perempuan di kampungnya pernah dan sedang mengenyam pekerjaan sebagai buruh di negeri orang. Sebagian besar dari mereka terbang ke jazirah Arab dan Malaysia. Sementara sebagian lainnya ke Taiwan, Hongkong serta Singapura.

Di antara mereka, para alumni saudi-lah yang terkenal paling bersinar di kampung. Hal ini dicirikan dengan berdirinya rumah tembok bata nan megah. Tak ubahnya seperti rumah di kota besar.

“Kami yang muslim lebih senang memilih majikan yang seagama. Negara-negara Islam adalah tujuan utama kami,” terang Ito. Mereka merasa risih apabila majikan di negara tempat bekerja adalah orang non-muslim. Mengapa? Mereka takut melanggar agama bila hrus memasak makan-makanan yang tidak halal menurut Islam. Oh la la. Ia rupanya tidak tahu bahwa menurut Institute For Migrant Workers [Iwork] bahwa pelecehan seksual sampai pemerkosaan mengintai setiap gerak langkah para buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di kawasan Timur Tengah. Hal ini disampaikan Iwork di artikel berjudul Istilah muskilah yang menyakitkan … dalam situs resminya.

“Itulah keadaan kampung kami. Sebagian besar penduduk di kampung adalah petani miskin yang memiliki kurang dari 0,2 Ha sawah,” kata Atan Nurmana Jaya [39], seorang anggota Serikat Tani Nasional [STN]. Kang Atan, demikian ia biasa disapa, menjelaskan bahwa usaha tani di kampung tersebut bukanlah sawah dengan saluran irigasi teknis. Petani hanya mengandalkan hujan dan memanfaatkan derasnya aliran sungai yang mengalir di seberang kampung pada musim tersebut sebagai sarana irigasi tradional.

Bagaimana masyarakat mengatasi keadaan tersebut? “Masyarakat di kampung ini memilih dua cara untuk mengatasinya, menjadi tenaga kerja di luar negeri atau menggarap di Kutatandingan” jawab Kang Atan.

Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh KPH Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Namun keberadaan petani penggarap di kawasan ini menuai reaksi dari pihak Perhutani. Salah satunya adalah praktek pemungut pajak di Kutatandingan.

Kampung Palasari berbatasan langsung dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, ia berada dalam wilayah Desa Kutalanggeng, Kecamatan Tegalwaru Kabupaten Karawang. Untuk menuju kampung ini dibutuhkan waktu 1,5 jam berkendaraan dari ibukota Karawang menuju arah selatan.

Sampai kapan perempuan dan petani miskin Kampung Palasari bisa bertahan?


Pemungutan Pajak Di Kutatandingan


FOTO kawasan Kutatandingan yang kering dan ditelantarkan oleh KPH Perum Perhutani Purwakarta. Sejak 1997 dimanfaatkan oleh petani miskin tak bertanah untuk bertani ala kadarnya.

-----

KARAWANG, STN. Sebut saja ia bernama Asman. Usianya sudah melebihi setengah abad. Namun badannya tampak kokoh, khas petani yang gemar bekerja keras di ladang dan sawah. Rumahnya berada di Kampung Palasari yang berbatasan dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, kampungnya masuk dalam wilayah Desa Kutalanggeng Kec. Tegalwaru Kab. Karawang. Ia mengaku kurang gembira setiap panen padi tiba. “Saya dan beberapa orang petani lainnya sering dipunguti pajak,” akunya kesal.

Asman dan lima orang petani lainnya, sebut saja bernama Edi, Adung, Kemud, Juli dan Anip, adalah para penggarap ladang di kawasan Perhutani yang hingga hari ini masih bertahan.

Semuanya berawal dari tahun 2004. Ketika itu, Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan [BKPH] Pangkalan selesai melakukan kegiatan pemanenan kayu akasia di petak yang dikenal oleh masyarakat sebagai Cikadut. Pihak Perhutani memperkenankan masyarakat untuk membersihkan tunggak-tunggak kayu dan mengusahai lahan tersebut untuk berladang. Namun, ‘izin’ tersebut dibarengi dengan pungutan sebesar Rp. 10.000,- per orang sebagai biaya ‘pendaftaran’.

Asman dan kawan-kawannya serta puluhan petani miskin tak bertanah lainnya terpaksa menerima syarat tersebut. “Kami tidak berani membantah, Pak,” kenangnya.

Rupanya bukan hanya biaya pendaftaran saja yang dipungut. Ketika memasuki musim panen padi ladang para penggarap kembali dimintai pungutan. Kali ini upeti yang mesti diserahkan ditetapkan sebesar jumlah bibit yang ditanam pada areal garapan tiap petani. “Kalau seorang petani penggarap memerlukan 2 kuintal bibit padi maka sebesar 2 kuintal gabah wajib diserahkan di saat musim panen,” jelas Asman.

“Di Cikadut kami hanya bertahan dua tahun. Karena tanah sudah kurang subur setelah empat musim tanam padi ladang. Tahun 2006 kami pindah ke blok hutan Cijambe,” lanjutnya. Di blok tersebut Perhutani baru saja selesai memanen kayu akasia. “Tapi biaya pendaftaran tetap membebani kami. Kali ini sebesar Rp. 50.000,- per orang. Lebih mahal, Untuk pungutan tiap musim panen padi mah tetep,” tuturnya sembari mengelus dada.

Jadi, siapa sebenarnya yang memungut itu? Asman hanya menyebut nama Sholeh dan Aseng. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Aseng adalah salah seorang pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Langgeng Sari Desa Kutalanggeng.

Menduduki Kutatandingan

Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan [KPH] Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Kawasan seluas ± 7200 ha ini meliputi lima kecamatan yakni Ciampel, Teluk Jambe Barat, Teluk Jambe Timur, Pangkalan dan Tegalwaru.

Atan Nurmana Jaya [39], anggota Serikat Tani Nasional [STN], menuturkan bahwa Kutatandingan sejak 1997 relatif ditelantarkan oleh Perhutani. Lahan bekas tebangan tanaman jati yang diusahai pada masa masa lalu dibiarkan terbengkalai. Sementara di sisi lain, masyasrakat yang tinggal di sekitar Kutatandingan didera kemiskinan berkepanjangan akibat ketidak-cukupan lahan usaha pertanian.

Kang Atan, demikian ia biasa disapa, adalah golongan petani miskin sebagaimana layaknya penduduk lain di Kampung Palasari. Luasan sawah yang digarapnya hanya 1800 meter persegi. Itupun lahan waris milik orang tuanya. Demikian juga dengan para tetangganya. Sawah yang mereka miliki rata-rata tak kurang dari 0,2 Ha. “Makanya sejak 1999, saya dan petani miskin lainnya menggarap ladang di kawasan Kutatandingan,” jelasnya

Di tengah gelora reformasi 1998, Kutatandingan diduduki oleh petani yang miskin dan kaum tak bertanah. Mereka membersihkan areal yang terbengkalai dari sisa-sisa tunggak tanaman jati dan menanaminya dengan padi lading jenis lokal yang dikenal dengan nama kokosan, beragam palawija dan pisang-pisangan. “Kami tanami tanaman kayu seperti jeunjing/sengon/albazia, kayu kapuk, kayu nangka dan petani serta jengkol di areal miring agar tidak longsor,” tambah bapak satu anak ini.

Mereka yang duduk di Kutatandingan tidak hanya berasal dari desa-desa sekitar Kutatandingan. Kaum miskin tak bertanah dari berbagai pelosok di Kabupaten Karawang juga berdatangan dan turut mengusahai tanah tersebut. Bahkan ada juga yang berasal dari luar kota, termasuk mereka yang berketurunan suku Bugis dan orang Batak.

“Kemiskinan dan ketiadaan lahan di kampung asal mengharuskan kami seperti ini. Kalau Negara ini serius mengentaskan kemiskinan petani, jalankan landreform dan UUPA [Undang Undang Pokok Agraria -- red] dong!,” tandasnya.

Kini Kutatandingan telah dihuni ribuan keluarga. Di beberapa tempat telah berdiri perkampungan dan diakui keberadaanya oleh Pemerintah Kabupaten Karawang. Pengakuan tersebut ditunjukkan dengan terbitnya Kartu Tanda Penduduk [KTP] dan Kartu Keluarga [KK]. Sebut saja sebuah kampung bernama Cibulakan. Ia memiliki perangkat pemerintahan lokal dan diakui secara administrasi sebagai RT 14 Desa Parungmulya Kec. Ciampel.

Bukankah keadaan yang demikian berakibat pada tumpang-tindihnya kepentingan antara Pemkab Karawang dan Perhutani?

Tindakan Perhutani

Perhutani ternyata tidak tinggal diam atas pendudukan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Drs. Rahmat selaku Kepala BKPH Teluk Jambe dalam forum dengar pendapat antara STN dengan Perhutani tahun 2005 mengatakan bahwa masyarakat akan diajak bekerja sama dalam pengelolaan hutan di Kutatandingan.

Sejak tahun 2006 pihak Perhutani mendirikan LMDH di beberapa desa sekitar Kutatandingan. Jajaran pengurus LMDH dipilih sepihak dari kalangan birokrasi desa dan petani kaya. Keikutsertaan petani penggarap kurang mendapat perhatian. Oleh karennya LMDH cenderung berpihak pada Perhutani.

“Sekiranya Negara RI patut dengan segera malaksanakan reforma agraria sejati di kawasan hutan. Kawasan-kawasan hutan produksi yang telah dikelola oleh petani penggarap patut segera dilepaskan status kawasannya, “ tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Setelah itu, wilayah kelola tersebut harus diakui oleh negara RI sebagai alat produksi masyarakat untuk hak atas pangan. “Dan hal mendesak yang harus diberantas adalah tindakan pemungutan pajak secara sepihak kepada petani penggarap.”


Dirjen PLA Deptan RI Turut Kritis Atas Rencana PEmbangunan Bandara Internasional Jawa Barat
MAJALENGKA, STN. Kiranya pihak Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan Dan Air Departemen Pertanian RI [Dirjen PLA Deptan RI] harus memenuhi janjinya. Komitmen Ir. Tangkas Panjaitan, M.Ag.Sc yang mewakili departemen tersebut dalam temu wicara [20/05] sekiranya menggembirakan para petani miskin Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka.

Hal tersebut termaksud dalam surat Direktorat Pengelolaan Lahan Dirjen PLA Deptan RI bernomor 166/PP.400/B.3/05/08 perihal rencana alih fungsi lahan sawah. Mereka meminta kepada Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Barat dan Kepala Dinas Pertanian Kab. Majalengka agar menyerap aspirasi petani yang tergabung dalam Forum Komunikasi Rakyat Bersatu [FKRB] untuk meninjau ulang KA AMDAL. Hal ini berkaitan dengan rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat [BIJB] di kawasan tersebut.

Koreksi Data

Dalam surat tertangal 29 Mei 2008 dan ditandatangani oleh Ir. Suhartanto MM selaku Direktur Pengelolaan Lahan juga disebutkan pentingnya koreksi data produksi sawah tadah hujan yang tertulis dalam KA AMDAL. Data yang tertulis sebesar 0,6 ton GKP per hektar seyogyanya adalah sekitar 6 ton GKP per hektar.

Besarnya produksi sawah tadah hujan tersebut menjadi salah satu dasar ketidaksediaan para petani miskin apabila lahan pertanian dan pemukimannya dibangun menjadi BIJB.

"Departemen Pertanian RI telah bertindak tepat. FKRB telah mendesak mereka dengan langkah yang tepat pula. Namun kami tidak lantas berpuas diri. Mengawal proses surat tersebut adalah agenda kami selanjutnya agar tidak menyeleweng dari perjuangan ini," tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN].

Ikhwal Sengketa

Desa Sukamulya adalah satu dari sebelas desa yang menjadi korban rencana pembangunan BIJB di Kecamatan Kertajati. Rencana ini diajukan oleh Dinas Perhubungan Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2006 lalu sebuah tim meneliti kelayakan lingkungan di sekitar lokasi rencana pembangunan BIJB dan membuahkan dokumen KA AMDAL yang menjadi acuan proyek selanjutnya.

Berbagai upaya perjuangan FKRB telah dilakukan. Terakhir, mereka bersama KPP STN menyelenggarakan kegiatan yang bertepatan dengan hari jadi desa dan dihadiri oleh kalangan Departemen Pertanian RI.

Rakyat Bersatu Lawan Rezim Anti-Rakyat Tolak Kenaikan Harga BBM! Turunkan Harga Sembako!



http://stn-sumedang.blogspot.com/2008/05/rakyat-bersatu-lawan-rezim-anti-rakyat.html


Pemerintah SBY-JK telah akan menetapkan harga BBM sebagai "pilihan terakhir" untuk mengatasi harga minyak dunia yang melambung tinggi yang mengakibatkan defisit APBN melambung tinggi.

Sebelum rezim ini juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang anti rakyat seperti kebijakan import bahan pangan dengan menghilangkan bea masuk impor yang akhirnya memukul kehidupan kaum tani dan tidak melakukan proteksi pasar akan tetapi membiarkan harga-harga sembako membiarkan harga-harga sembako stabil setelah pasar pasar menentukan sendiri harga stabilnya. Hasilnya, harga stabil yang ada dipasaran hari ini melonjak lebih tinggi dari harga sebelumnya. Dengan berbagai pembenaran yang semangkin memperlihatkan ketidakmampuan rezim ini mengatasi kritis di dalam negeri kecuali dengan semangkin menghisap dan menindas rakyat, maka keluarlah kebijakan anti rakyat.

Dengan harapan merebut simpati rakyat, maka rezim ini mengeluarkan pula bijakan yang seolah-olah memikirkan rakyat yaitu dengan BLT plus padahal kebijakan BLT plus ini hanya bersifat sementara dan tidak sebanding dengan melonjaknya harga-harga yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM. Sehingga jelas bagi kita, kebijakan BLT plus ini tidak membantu rakyat akan tetapi hanyalah upaya licik dari rezim yang anti rakyat untuk meebut simpati rakyat dengan melakukan pembodohan dan mengambil kesempatan dari kondisi rakyat yang semakin terpuruk.

Maka, kami menyatakaan sikap dan menuntut:
  1. Tolak kenaikan harga BBM!
  2. Turunkan harga bahan-bahan pokok rakyat serta naikan subsidi bagi rakyat, seperti untuk pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan public lainnya!
  3. Naikan upah buruh, termasuk buruh tani dan pekerja pertanian di pedesaan serta golongan pekerja rendahan lainnya. Upah yang didasarkan atas standar hidup yang layak!
  4. Tolak PHK dan hapuskan system kerja kontrak dan bentuk outsourcing!
  5. Laksanakan reforma agrarian sejati dan menolak segala bentuk kebijakan pembaharuan agraria
  6. palsu seperti PPAN!
  7. Menuntut penghentian penggusuran terhadap pedangan kecil dan berikan jaminan di dalam menjalankan aktivitas ekonominya!
  8. Menuntut penyediaan lapangan kerja!
  9. Pendidikan gratis bagi anak-anak buruh, kelas pekerja lainnya serta rakyat miskin luas!
  10. Persamaan hak dan hapuskan diskriminasi bagi perempuan di seluruh aspek kehidupan!
  11. Realisasikan 20% APBN dan APBD untuk pendidikan diluar gaji tenaga pengajar dan hentikan pemotongan subsidi pendidikan!
  12. Tolak RUU BHP dan seluruh praktek komersialisasi pendidikan!

Bandung, 21 Mei 2008

Front Kebangkitan Rakyat
(KASBI, PBKM, SBSI 92, Bandung Raya, PPMI 98, FSBI, AGRA, STN, HMR, FAMU, LMND-PRM, GEMPA, KMB, GMP, Bilik Kuning, SBM, FMN, KMD, LSAK, GRI, LBHB)

Bandara Internasional Jawa Barat Yang Menuai Penolakan Petani

MAJALENGKA, STN. “Kami tetap menolak keberadaan Bandara Internasional Jawa Barat yang akan dibangun di atas desa kami!”, demikian tegas Abah Herry selaku pimpinan Forum Komunikasi Rakyat Bersatu [FKRB] takkala memberikan kesaksian dalam temu wicara bertema Alih fungsi Lahan Pertanian pada hari Selasa, 20 Mei 2008. Ia menambahkan bahwa masyarakat Desa Sukamulya sebenarnya mendukung adanya Bandara. "Namun sebaiknya Bandara tersebut didirikan di lahan yang tidak produktifm, bukan di sini", imbuhnya.

Temu wicara yang diselenggarakan oleh FKRB dan Serikat Tani Nasional di Balai Desa Sukamulya dihadiri oleh dua pembicara dari Departemen Pertanian RI. Mereka adalah Ir. Tangkas Panjaitan, M.Ag.Sc selaku Kepala Sub Direktorat Reklamasi Lahan dan Ir. Tjuk Edi, M.Ag.Sc selaku Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. Hadir pula dalam Kuwu [kepala Desa] Sukamulya, para tokoh pemuda dan masyarakat serta kalangan petani penggarap anggota FKRB.

Anggota Tim Amdal Nasional

Tangkas Panjaitan mengemukakan bahwa Bandara Internasional Jawa Barat [BIJB] baru sebatas rencana awal yang diajukan oleh pihak Dinas Perhubungan Propinsi Jawa Barat. Kajian Amdal terhadap poyek tersebut juga masih bersifat analisis awal kelayakan yang masih memungkinkan terjadinya perubahan. “Kedudukan saya sebagai salah satu anggota Tim Amdal tingkat nasional akan memperjuangkan peninjauan ulang terhadap usulan Dinas Perhubungan tersebut”, janijinya.

Sementara Tjuk menyatakan bahwa bertepatan dengan perayaan 100 tahun kebangkitan nasional para petani di Desa sukamulya patut membuka diri terhadap perubahan-perubahan zaman. “Namun kearifan lokal dalam pengelolaan sumber pangan tetap tak boleh ditinggalkan. Hal ini dimulai dari memupuk tanggung jawab pribadi diri kita kepada sesama yang miskin dan papa”, jawabnya aras pertanyaan peserta mengenai tanggung jawab sosial Perusahaan Gula Jatitujuh yang memiliki kebun di sekitar Desa Sukamulya.

Lumbung Padi Majalengka

Desa Sukamulya adalah satu dari sebelas desa yang menjadi korban prencana pembangunan BIJB di Kecamatan Kertajati. Di sisi lain, Kecamatan Kertajati memiliki areal pesawahan tadah hujan yang terhampar dengan luas. Produksi padi di Kertajati dalam 1 hektar menghasilkan 6 ton padi kering siap giling.

Dinas Pertanian Kabupaten dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka 2005 melaporkan bahwa luas tanam di Kertajati 9441 hektar, luas panen 9060 hektar, hasil produksi 47.428 ton, dengan rata-rata produksi 52,35 kuintal. Merekapun bangga dengan Kertajati yang berpredikat sebagai lumbung padi Majalengka.

"Di tengah kebijakan negara yang berencana menaikkan harga BBM, sungguh tepat kiranya bila petani penggarap yang tergabung dalam FKRB menuntut keadilan untuk terjaminnya sumber pangan kehidupan mereka dan keluarganya hari ini dan masa depan.", tandas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional sebelum kegiatan tersebut ditutup oleh Kuwu Desa Sukamulya.

Di Sukaresmi, Pantas Mereka Tidak Mensyukuri Kehadiran Pemerintah

Pada tanggal 3 Maret 2008, di Sukaresmi-Kertajati Kabupaten Majalengka, ada petani-petani yang mensyukuri Dewi Sri yang hadir di setiap pesawahan yang menghasilkan padi. Mapag Sri, nama syukuran itu, di setiap panen di Musim Penghujan diadakan di Sukaresmi. Mapag Sri dalam Bahasa Sunda, artinya Menjemput Dewi Sri.

Tanggal 3 Maret, di dusun Sukaresmi, ibu-ibu menghantarkan tumpeng ke bale desa, gamelan dibunyikan dari sebelum Dhuhur, ketika wayang-wayang kulit berhasil ditancapkan di batang pisang. Tumpeng-tumpeng itu akan dinikmati bersama setelah dibelah ujung-ujungnya.

Jauh sebelum 3 Maret, pemerintah tak henti menjemput pemilik modal asing datang ke negeri ini, untuk ditegakan kuasanya di mana saja, di setiap ichi di tanah negeri ini. Satu akan ditegakan di Kertajati, berwujud Bandara Udara Internasional Jawa Barat. Amdalnya sudah ditandatangani Danny Setiawan selaku Gubernur Jabar, serta Tuty Hayati Anwar selaku Bupati Majalengka, mengiyakan lahan pesawahan di Kertajati tidak produktif, tetapi BPS dan Dinas Pertanian Majalengka telanjur mencatat Kertajati adalah tempat pesawahan terluas dan panen terbanyak di Kabupaten Majalengka. Tetapi hanya petani-petani Kertajati yang mensyukuri leganya pesawahan di Kertajati, dan banyak hasil panennya, di hari-hari pembebasan tanah sudah dijadwalkan dekat oleh pemerintah.

Tanggal 3 Maret, bapak-bapak yang sedari pagi berkumpul di Sukaresmi tak henti tak mensyukuri kehadiran pemerintah yang memahalkan pupuk, tak memberi kredit dan teknologi pertanian, serta terus melakukan pembangunan yang tak melibatkan petani itu sendiri di tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, sebab pemerintah tak henti mengira petani itu tak berdaya, cuma pemerintah yamg pintar dan berhak merencanakan nasib bangsa, sebab bagi pemerintah, bahwa benar petani itu tidak pantas memiliki dirinya sendiri, juga tanah. Semuanya hanya pantas dimiliki kuasa modal untuk terserah dibagaimanakan sesuai selera pemilik modal.

Tetapi akan disudahi, sehingga Bandara Udara Internasional Jawa Barat mereka tentang untuk ditegakan. Tahun-tahun berikutnya, seperti tahun-tahun lalu, petani-petani Kertajati cuma menghendaki tempatnya terus menjadi lumbung padi Majalengka.

Tanggal 3 Maret, diundang hadir semua yang menentang korporasi untuk monopoli dan dominasi, sebab sepenuhnya mengerti, tidak cukup satu-dua tangan untuk menghadang kuasa jahat modal. Perlu persatuan. Ya perlu persatuan. ***

Ditulis oleh Faisal N Faridduddin, Jl. Brawijaya 71 Kadipaten-Majalengka 45452, jaringan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional di Propinsi Jawa Barat.


Petani Tiga Desa Unjuk Rasa di DPRD



http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=11983

SUMEDANG, (PR).-

Ratusan petani dari Desa Genteng, Banyuresmi, dan Desa Nangerang, Kec. Sukasari, Kab. Sumedang, berunjuk rasa ke DPRD dan Kantor Pemkab Sumedang, Kamis (14/2). Peserta aksi di bawah bendera Serikat Tani Nasional (STN) tersebut, menuntut pihak Pemkab Sumedang melakukan berbagai langkah serius untuk meningkatkan taraf kehidupan kaum petani.

Massa dari desa-desa di kaki Gunung Manglayang itu, berunjuk rasa mulai dari Taman Endog lalu berjalan kaki ke gedung DPRD. Sambil berorasi, mereka menggelar spanduk dan sejumlah poster berisi tuntutan kaum petani.

Para petani mendesak agar Pemkab Sumedang mencarikan lahan, memberikan bantuan modal, dan teknologi peralatan pertanian, untuk ladang usaha pertanian kolektif kaum petani. Selain itu, menurunkan harga pupuk dan obat-obatan pertanian, serta merealisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah tepat sasaran.

Untuk memenuhi kebutuhan lahan pertanian, mereka meminta Pemkab Sumedang melakukan negosiasi dengan pihak Perhutani. Harapan mereka, pihak Perhutani memberikan izin kepada kaum petani di desa-desa tersebut untuk menumpang bercocok tanam padi, sayuran, dan palawija pada bagian lahan Perhutani kaki Gunung Manglayang Timur sekitar desa mereka.

Menanggapi berbagai aspirasi tersebut, Ketua Komisi A DPRD Sumedang Drs. Sarnata mengatakan, semua aspirasi yang disampaikan pasti akan ditindaklanjuti pihaknya. Kepada petani, Sarnata menjanjikan pihaknya akan melakukan langkah-langkah serius dan akan menyampaikan jawaban atas berbagai aspirasi itu paling lama 14 hari.

Khusus mengenai tuntutan agar petani di desa-desa tersebut bisa menumpang bercocok tanam pada lahan Perhutani di kaki Gunung Manglayang, dikatakan Sarnata, itu tidak mungkin mendapat izin dari Perhutani. Karena, berdasarkan hasil pertemuan pihaknya dengan pihak Perhutani, lahan Perhutani di kawasan Gunung Manglayang, semuanya termasuk dalam klasifikasi lahan hutan lindung. (A-91)***

Pemilihan Gubernur Dan Imperialisme!

Majalengka. Kota ketiga di suatu dunia ketiga bernama Indonesia. Kota yang notabene bagian dari Jawa Barat, kini, dipenuhi wajah-wajah yang mencalonkan diri di Pilihan Gubernur Jawa Barat 2008. Poster-poster berwajah cagub dan cawagub meramaikan jalan yang sudah ramai oleh spanduk, billboard iklan.

Sudah tersiar nama-nama yang mencalonkan diri di Pilgub Jabar 2008 itu: UU Rukmana, Danny Setiawan, Dadang Garnadi, Indra Hutabarat, Andri, Ramito, Irianto MS Syaifiuddin, Tuty Hayati Anwar, Muh. Nugraha, Dede Macan Efendi, MQ Iswara, Amung Ma’mun, Rudy Gunawan, Rudi Harsa Tanaya, Agum Gumelar, Nu’man Abdul Hakim.

Dan di Majalengka wajah yang sudah diiklankan dalam poster dan billboard barulah Rudi Harsa Tanaya, dan Tuty Hayati Anwar serta Danny Setiawan yang disandingkan dalam satu spanduk dan billboard. Poster Tuty Hayati Anwar dan Danny Setiawan lebih banyak (baik dari jumlah dan corak desain) dari yang Rudi Harsa Tanaya miliki di kota Majalengka, dan poster mereka memiliki gambar latar yang bermacam, salah satunya bergambar pesawat boeing, seperti yang diduga itu ada kaitannya dengan pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat. Tuty Hayati Anwar adalah bupati Majalengka, dan Danny Setiawan adalah Gubernur Jawa Barat. Keduanya menandatangani Amdal untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat.

Data pemilih Pilgub juga hampir terkumpul seluruhnya. Dan dari beberapa angka jumlah pemilih itu adalah mereka yang mengorganisir diri di Kertajati, petani yang menentang pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat.

Bandara Internasional Jawa Barat hendak dibangun ketika produk Danone di dalam jangkauan tangan khalayak, bersama produk Bayer. Kedua itu hampir bersebelahan dengan cabe dari Kertajati, dan kol dari Maja. KFC dekat sekali, tidak perlu menaiki pesawat untuk sampai pada haribaannya. Genteng Jatiwangi ada yang dibandrolin US dollar. Poster artis Korea di dinding bilik anak muda di suatu desa di dunia ketiga. Foto kekerasan Junta Militer Myanmar pada biksu yang menentang kenaikan bbm 500% bisa dilihat di warnet, dan juga bisa ditemukan tulisan soal Haur Koneng dalam Bahasa Belanda.

Dunia telah datar, seru orang-orang, komoditas, informasi, dan modal bisa bebas berselancar. KFC bisa bebas datang ke mana saja, bersama Malboro. Bebas berlarian sepanjang inchi yang ada. Reebok berloncatan ke mana saja, tidak hanya bermaksud mencari buruh murah, juga pasarnya. Bahkan bisa hadir ke pojokan suatu kota ketiga di suatu dunia ketiga, kalau di sana hitung-hitungan laba-rugi berlaku. Starbucks bisa masuk Majalengka seperti dodol Garut bisa masuk.

Tapi bukan datar yang dimaksud datar yang dipercayai dulu oleh mereka bahwa dunia itu datar dengan ujung-ujungnya jurang yang dalam, sehingga tidak perlu berlayar dengan kapal mencari dunia baru, sebab akan terperosok. Dan saat itu, mempercayai bumi itu bulat adalah bidah. Maka yang berlayar itu, mengarungi lautan, dan menemukan tanah baru itu adalah pahlawan karena mematahkan kepercayaan terlembagakan bahwa bumi itu datar dan ujung-ujungnya jurang, tapi tidak jadi pahlawan pada detik berikutnya, ketika para pelayar itu menjajah dengan semangatnya yang terkenal itu: gospel, glory, gold, gold, dan gold.

Gold 3 kali itu menurut John A. Hobson yang menjelaskan motivasi dari imperialisme itu, tetapi John A. Hobson berbeda pendapat dengan Lenin. Menurut John A. Hobson, imperialisme adalah bukan dari kemajuan kapitalisme. Sedangkan Lenin berbicara lain. Menurutnya, imperialisme adalah puncak tertinggi dari kapitalisme. Sebut saja upaya mempercanggih kapitalisme.

Mulanya mungkin dengan menekan pemerintah untuk mengeluarkan armada perang milik negara untuk pelesiran membawa senjata ke tempat yang penuh sumber bahan mentah, dan merampas semua yang ada pada atas tanah dan yang terkandung di dalamnya. Sebab itu lebih menguntungkan daripada memperoleh bahan mentah melalui kompetisi di pasar bebas. Kapitalisme monopoli memang pemberhentian berikutnya, sesudah kapitalisme kompetisi pasar bebas. Dan upaya mempercanggih kapitalisme itu tidak akan pernah berhenti.

Masa kolonialisme ekspansi sangat fisikly sekali. Namun sesudah Perang Dunia ke II ekspansi lewat teori dan ideologi. Keduanya sama mencengkeramnya, tapi yang kedua susah disadarinya, apalagi kalau kapitalisme memperbaiki diri sehingga berwajah manusiawi. Bisa punya CSR atau menyetujui MDGS.

Hulu dan hilir tersambung, sehingga dunia terasa pekarangan sendiri bagi pemilik modal, batas negara tidak menjadi pagar. Semua saling mendekat, terjangkau, selayaknya kampung. Modal pun bisa disimpan di mana saja. Lantas dunia ini pantas lebih dari sekedar dikatakan kampung global. Tetapi pusat dan pinggiran masih ada.

Kapitalisme memang membutuhkan penaklukan ruang sehingga terkesan dunia terlipat, biar muat dalam genggaman tangan mereka untuk bisa dimasukan ke saku mereka. Yasraf Amir Piliang mengatakan itu: dunia telah dilipat, sebab ruang mesti ditaklukan oleh kaum monopolis untuk meningkatkan tempo konsumsi, produksi, demi perluasan dan pelanggengan penguasaan sistem politik dan sumber ekonomi, serta penguasaan kesadaran massa rakyat serta ingatan kolektifnya.

Bandara Internasional Jawa Barat berada dalam logika ini. Tetapi beberapa mempercayai dunia telah menjadi indah ketika menjadi datar dan berhasil dilipat. Kalau gak percaya coba tanyakan pada band indie Bandung atau Jakarta yang musiknya bisa di dengar di Jerman setelah di download dari internet.

Tapi tetapi sekali lagi tetapi, seperti imperialisme dulu, imperialisme kini juga serupa melahirkan banyak orang yang bernasib seperti Saijah yang kehilangan kerbaunya, dan mesti menjual keris peninggalan keluarga pada babah untuk bisa beli kerbau lagi, dan dirampas lagi. Tapi kini bukan hanya kerbau yang dirampas, tanah, sawah, tambang, tenaga manusia, atau apasajalah yang investor inginkan, hampir semua yang dipunyai, bahkan pemerintah tidak bisa mencegah. Dan itu sah dilakukan atas nama perdagangan bebas. Pantas pemerintah dan investornya tidak mau tahu soal nyeri atau tidaknya petani Kertajati kehilangan sawah dan rumah.

Dunia tidak cuma jadi datar, tapi juga pusat pembelanjaan raksasa berukuran raksasa, yang datar tentunya. Dunia yang telah dilipat itu dipenuhi rak-rak yang berisi pajangan berupa sawah, tenaga manusia, tambang, negara dari dunia ketiga, dan segala rupa. Semua dijual murah, sekalipun begitu tetap saja tidak terbeli oleh kaum tanpa subsidi. Yang mampu membeli tentu kaum bermodal besar, yang sialnya tidak hanya mau membeli isi rak-rak di pusat pembelanjaan yang bernama dunia itu, tapi juga ingin membeli dunia itu sendiri, sebagai pusat pembelanjaan.

Membeli itu, mumpung dunia berhasil dilipat. Dan tidak ada yang bisa menghadang upaya itu. Massa sekalipun tidak diperkenankan menghadang, di hari hulu hilir mesti tersambung seperti lorong-lorong yang menyambungkan satu rak dengan rak lain di dalam pusat pembelanjaan, dan yang menyambungkan tidak cukup display, tv, billboard, internet. Itu alat-alat purba juga masih diperlukan: bandara, pelabuhan, barak, dan semua alat lainnya untuk semakin memperkuat tertancapnya kuku imperialisme.

Pemerintah pusat sampai pemerintah daerahnya mesti berminat dengan perluasan dan pelanggengan monopoli itu, dan tidak mengapa mereka kebagian sedikit laba dari yang kapitalis pusat dapatkan, sebab mereka membutuhkan sejumlah uang dan komisi itu untuk ikutan pemilu, pilkada yang menghabiskan banyak uang buat kampanye dan money politic-nya.

Apa saya bicara terlalu cepat?

•••

Petani Kertajati yang mengorganisir diri menentang BIJB (Bandara Internasional Jawa Barat) itu mengetahui akan ada pelaksanaan Pilgub Jabar, calon-calonnya juga.

Di bale desa Sukamulya, mereka sempat membicarakan itu, beberapa kali, sebelum keberangkatan aksi ke Jakarta, hendak menemui Komisi 5 DPR RI, tanggal 27 Agustus 2007, dan gagal menemui, terbentur birokrasinya polah Komisi 5. Di bale desa, petani yang mengorganisir diri itu menyatakan tidak akan memilih cagub dan cawagub yang akan mengkonversi lahan sawah mereka menjadi Bandara Internasional demi memenuhi kebijakan neoliberal yang menuntut pemerintahan di dunia ketiga untuk mengintregrasikan dan mengkonversikan ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi yang berorientasi ekspor, meskipun kebijakan itu mengorbankan lingkungan dan sistem sosial. Dr. Mansor Fakih, mengatakan begitu.

Mereka mengerti bahwa Pilgub nanti tidaklah pantas sekedar mengganti birokrasi korporasi global saja. Pilgub dua putaran sungguh makan uang. Rakyat sudah kerepotan dengan pencabutan subsidi bbm, dengan privatisasi ber-eufimisme, sehingga privatisasi kampus jadi otonomi kampus, privatisasi puskesmas dan rumah sakit menjadi puskemas dan rumah sakit mandiri.

Pantas petani yang mengorganisir diri menentang BIJB itu tidak percaya pada tujuan pembangunan BIJB yang akan meningkatkan kesejahteraan rakyat itu. Itu gombal berikutnya, sebab pada pelaksanaannya demi membangun BIJB, pemerintah telah melakukan kecurangan.
  1. Sampel wawancara tim Amdal yang hanya dilakukan 20 orang saja.
  2. Peneliti Amdal hanya beberapa hari saja melakukan penelitian, padahal seharusnya empat bulan menurut surat tugas.
  3. Pernyataan yang berupa tanda tangan 11 kuwu (Kepala Desa) dan camat yang menyatakan masyarakat siap mendukung, membebaskan tanah, rumah dan lain-lain untuk pembangunan Bandara Udara Internasional Jawa Barat, padahal tidak ada musyawarah dengan masyarakat berkenaan soal itu.
  4. Tim Amdal mencatat dalam hasil Amdalnya bahwa tanah di Kertajati tidak produktif. Menuliskan dengan waktu tanam sekali dalam setahun dengan hasil rata-rata 1 hektar sama dengan 6 kwintal gabah kering (anehnya pemerintah daerah tidak keberatan dengan hasil Amdal yang melaporkan begitu, sekalipun mereka tahu itu artinya mereka gagal menjadi kota agraris yang seperti mereka gembor-gemborkan. Bupati pun menandatangani hasil Amdalnya dengan mudah). Padahal faktanya di Kertajati dalam 1 hektar menghasilkan 6 ton padi kering siap giling. Dinas Pertanian Kabupaten dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka malah melaporkan bahwa luas tanam di Kertajati 9441 hektar, luas panen 9060 hektar, hasil produksi 47.428 ton, dengan rata-rata produksi 52, 35 kuintal.
Jadi di bale desa, petani Kertajati yang menentang Bandara Internasional Jawa Barat mengeluarkan kriteria gubernur Jawa Barat berikutnya: anti neoliberalisme.


Ditulis oleh Faisal N Faridduddin, Jl. Brawijaya 71 Kadipaten-Majalengka 45452, jaringan STN di Kab. Majalengka Jawa Barat.

Bandara Internasional Jawa Barat, Mimpi Siapa Yang Dibangung di Kertajati?

Kertajati-Majalengka. Pesawahan terhampar datar, dan kalau malam, gelap membuat pesawahan tampak seperti televisi layar datar yang tidak menyala dalam posisi ditidurkan. Cabe tumbuh di situ, padi, juga buah mangga. Sawah tadah hujan memang. Genset menyedot air, dan sumur bor yang jumlahnya sedikit. Kalau banyak sumur bor, takut menyedot persediaan air buat rumah-rumah yang menggerombol sekepal demi sekepal. Rumah-rumah dikepung sawah, dan penghuninya bangga tinggal di situ sebagai petani yang membuat bunga berkembang tepat pada musimnya. Tersenyum bangga, ketika tempatnya disebut salah satu lumbung padi Majalengka. Mereka kelihatan mengerti telah berkontribusi dalam upaya memenuhi kesediaan pangan tidak hanya bagi keluarganya.

Dalam benak mereka muncul ingatan soal kehidupan dulu, ketika bertani di awal-awal, dan belum terlalu bisa mencukupi kehidupan keluarga. Mereka telah hidup dari nol di sana. Listrik telah mereka usahakan datang. Tahun 1994, tiangnya terpancang. Untuk itu sudah berapa uang kolektif yang dikeluarkan buat bayaran resmi sekaligus tidak resmi. Lumpur di jalan yang mereka lalui tidak selutut lagi, sudah aspal di jalan, sekalipun banyak lubang. Kota tempat mereka tinggal telah mencitrakan diri sebagai kota agamis dan agraris. Mereka semakin merasa betah di sana, sebab sawah tidak hanya dipahami dari sekedar tempat padi tumbuh saja.

Tetapi pemerintah daerah dan provinsi berkehendak lain dengan kehendak petani yang ingin terus bertani di situ. Telah ada penelitian katanya, soal penelitian itu makan uang, terang lagi. Penelitian itu diadakan di Bandara Husen Sastra Negara, Ciparay-Bandung, Kalijati-Subang, Pengging-Cirebon, Jonggol, Sukani-Jatiwangi-Majalengka. Singkatnya Kertajati dipilih. Rencana pembangunan jalan tol CISAMDAWU konon jadi pertimbangan. Di sana Pemerintah Provinsi Jawa Barat bermimpi menegakan Bandara Internasional Jawa Barat. Jawa Barat tidak lagi punya itu, sebab Bandara Internasional Soekarno-Hatta jadi milik Banten.

Sekali lagi katanya, kata Pemerintah Provinsi Jawa Barat, membangun Bandara Internasional Jawa Barat itu mendesak bagi Jawa Barat, demi peningkatan arus barang dan jasa ke luar negeri yang potensi katanya cukup besar di Jawa Barat. Sebab Jawa Barat kata Pemerintah Provinsi Jawa Barat, sudah sedemikian termarginalkan dalam hal sarana pelabuhan dan bandara. Fasilitas milik DKI dan Banten yang sering digunakan. Dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat ingin punya sendiri. Kata Pemerintah Provinsi Jawa Barat (dengan sedikit dramatisasi dari penulis): Sudah cukup! Menggunakan Tanjung Priok untuk pelabuhan, dan Cengkareng untuk bandara. Dan itu membuat membuat pengiriman barang ke Jawa Barat jadi makan 8 jam.

Penelitian yang makan duit negera sebesar 2 milyar pun menyatakan Majalengka sebagai pemenang. Kertajati dipilih sebagai tempat buat landasan pesawat sesuai standar Fatergion Civil Aviation Organization. Investor dari Inggris, Malaysia, Singapur, Brunei, dan Jepang mau ikutan dalam proyek itu, tentu investor lokal diajak, dan pemerintah daerah kebagian, tapi pembagian keuntungannya tidak seperti yang diusulkan Soekarno: Indonesia 60% dalam dollar, dan kalian asing 40% dalam rupiah (dramatisir berikutnya dari penulis). Sialnya, petani di sana berkehendak lain dengan kehendak pemerintah provinsi-daerah, dan investor. Kehendak itu: mereka ingin terus bertani di sana, sebab dipindahkan dari sana, berarti hidup dari nol. Dan warga Jatigede yang dipindahkan ke Kertajati pun jadi pelajaran bagi mereka. Dulu mereka hidup di tempat yang banyak air, sekarang dipindahkan ke tempat yang kurang air.

Lantas mereka pun belajar dari warga pasar tradisional Kadipaten, tempat mereka belanja. Belajar dari usaha warga pasar tradisional Kadipaten yang menentang pusat pembelanjaan dibangun di gigir pasar tradisional. Pusat pembelanjaan itu bernama Surya, dan warga pasar tradisional menentang ketika Surya itu tegak. Petani Kertajati pun mengerti, bahwa mereka mesti menentang Bandara Udara Internasional Jawa Barat, ketika jauh-jauh hari, sebelum pembebasan. Atau kerepotan. Sesudah Amdal dibikin tepatnya mereka mengorganisir diri.

Mulanya keheranan sedikit demi sedikit diakumulasikan petani-petani itu. Pertama, sampel wawancara tim Amdal yang hanya dilakukan 20 orang saja. Kedua, peneliti Amdal hanya beberapa hari saja melakukan penelitian, padahal seharusnya empat bulan menurut surat tugas. Ketiga, pernyataan yang berupa tanda tangan 11 kuwu (Kepala Desa) dan camat yang menyatakan masyarakat siap mendukung, membebaskan tanah, rumah dan lain-lain untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat, padahal tidak ada musyawarah dengan masyarakat berkenaan soal itu. Keempat, tim Amdal mencatat dalam hasil Amdalnya bahwa tanah di Kertajati tidak produktif. Menuliskan dengan waktu tanam sekali dalam setahun dengan hasil rata-rata 1 hektar sama dengan 6 kwintal gabah kering (anehnya pemerintah daerah tidak keberatan dengan hasil Amdal yang melaporkan begitu, sekalipun mereka tahu itu artinya mereka gagal menjadi kota agraris yang seperti mereka gembor-gemborkan. Bupati pun menandatangani hasil Amdalnya dengan mudah). Padahal faktanya di Kertajati dalam 1 hektar menghasilkan 6 ton padi kering siap giling. Dinas Pertanian Kabupaten dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka malah melaporkan bahwa luas tanam di Kertajati 9441 hektar, luas panen 9060 hektar, hasil produksi 47.428 ton, dengan rata-rata produksi 52, 35 kuintal.

Petani pun lekas mengorganisir diri ketika di TVRI bupati mereka membuat pernyataan lagi bahwa mereka telah siap dipindahkan. Aksi pertama ke DPRD II Majalengka. Seperti biasa Bupati tidak mau menemui., ia memang terkenal begitu, malah yang biasa menghadapi aksi tidak lain Pemuda Pancasila yang jumlahnya hampir melebihi jumlah polisi yang dikeluarkan. Bupati hanya berjanji datang ke Kertajati, desa Sukamulya. Dan janji itu tidak ditepati.

Belum punya nama mulanya ketika aksi di Majalengka, lalu merasa punya nama ketika hendak aksi ke Jakarta, mereka menamai diri Forum Komunikasi Rakyat Bersatu Menolak BIJB (Bandara Udara Internasional Jawa Barat). Di bale desa mereka biasa berkumpul, ketika di rumah tidak lagi muat. Mereka memang merasa mesti mengepalkan tangan terang-terangan.

Dan mesti selesai panen untuk bisa pergi ke Jakarta, hasil panen pun mengongkosi mereka pergi. Maunya nemui Komisi V DPR RI malah ketemu Fraksi PDI P. Padahal kontak petani di Jakarta sudah mengabari Komisi V tidak bisa ditemui, untuk ditemui mesti menempuh cara yang naudzubillah himindzalik birokratisnya. Tetapi petani terkesan grasa-grusu bagi mereka yang tidak hapal alasan mereka untuk lekas-lekas aksi ke Jakarta. Keadaaan mereka setiap hari tertekan dengan pemberitaan koran yang menyatakan sawah mereka tidak produktif, dan tersiksa dengan pernyataan pejabat yang sampai ke telinga mereka. Salah satu pernyataan yang mengganggu itu adalah pernyataan bupati pada rapat koordinasi gubernur dengan komisi V DPR RI, yaitu : “bahwa kami masyarakat Majalengka yang jumlahnya sekian juta orang sangat menantikan pembangunan BIJB (Bandara Udara Internasional Jawa Barat) dan mendukung proyek tersebut untuk segera dibangun.” Beberapa dari mereka malah jadi dalam keadaan ingin memukuli Tim Amdal yang melaporkan tanahnya tidak produktif. ”lamun ka dieu deui mun teu ditenggeulan ku warga,” begitu kata celutukan salah satu mereka.

Corong-corong masjid telah digunakan untuk membewarakan pertemuan membicarakan rencana penolakan Bandara Internasional Jawa Barat. Ceramah pun tak sungkan bicara itu. Mereka terus ingin bertani di sini, tidak hanya memenuhi ketersediaan pangan yang bukan hanya untuk keluarganya. Impor beras bukankah selalu oligopoli?

Rendeng (musim hujan) nanti padi berlimpah. Hujan jadi berkah. Tapi koran boleh memberitakan sebaliknya, meniru mulut penguasa yang bicara dalam pidato resmi dan tak resmi, soal rakyat yang ikhlas dikorbankan demi proyekan dan siap di buang ke Lemah Sugih (apa kau mengingatnya tempat itu? Kecamatan di pojokan Selatan Majalengka yang memiliki peristiwa yang bernama Haur Koneng).

Di sawah tadah hujan itu. Rendeng nanti mereka bungah. Hasil panen, labanya bisa dibelanjakan, tidak hanya untuk sekedar buat membiayai sekolah. Ya rendeng nanti mereka semakin punya alasan untuk mengulang aksi 27 Agustus 2007 di Senayan. Ada hasil panen buat memenuhi segala kebutuhan mengorganisir diri buat menentang Bandara Internasional Jawa Barat.

Senayan 27 Agustus 2007, di tempat itulah, petani yang mengorganisir diri itu sempat menerbangkan pesawat-pesawatan kertas. Dan aksi simbolis itu boleh diartikan sebagai pesan yang bunyinya: tanahku produktif, tempat setidak produktif-produktifnya adalah tempat dibuat kebijakan yang menguntungkan selain rakyat saja. Dan pesawat-pesawatan kertas itu mendarat di tempat itu. Petani yang mengorganisir itu memang berkehendak pesawat tidak mau didaratkan di tempatnya. Tidak mau cabe, padi, buah mangga diganti landasan. Dan kehendak itu sudah kuat. Lalu akankah BPN akan jadi menolak konversi lahan pertanian yang terus berkurang? Dan lalu akankah Komisi V akan menyetujui alokasi dana dari APBN untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat? Petani yang mengorganisir diri di Kertajati itu menyaksikan pemerintahnya berpihak pada siapa.

Dasar-Dasar Pemikiran Penolakan.

Tim AMDAL telah merekayasa data. Disebutkan oleh tim tersebut bahwa lualitas tanah di Kertajati tidak subur. Dengan waktu tanam sekali setahun didapatkan hasil produksi 1 ha = 6 kw gabah kering siap giling. Dalam kenyataannya, 1 ha = 6 ton padi kering siap giling. Rekayasa data hasil produksi pertanian juga disampaikan oleh Dinas Pertanian kab. Majalengka dan Badan Pusat Statistik setempat yang menyebutkan bahwa pada tahun 2005 di Kec. Kertajati terdapat 9441 ha areal persawahan dengan 9060 ha areal panen. Dari luasan tersebut, produksi gabah kering giling hanya 47428 ton yang setara dengan 52,35 kw/ha.

Dalam melakukan penelitian di lapangan, tim AMDAL hanya melakukan wawancara terhadap 20 orang petani saja selama beberapa hari. Padahal menurut masyarakat Kertajati, sebagaimana sesuai dengan surat tugas, tim AMDAL seharusnya melakukan selama 4 bulan lamanya.

Pemerintahan Kab. Majalengka tidak pernah membuka dialog dengan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan sosilisasi tentang keberadaan bandara tersebut. Kebohongan public juga dilakukan oleh 11 orang Kuwu [lurah] dan Camat Kertajati menyatakan klaim atas nama masyrakat yang siap mendukung dan membebaskan tanah, rumah, lading dan lain-lain untuk pembangunan bandara.

Mengingat, upaya pemerintah yang berniat melaksanakan revitalisasi pertanian, perikanan dengan memprioritaskan program lahan-lahan produktif untuk pertanian sebagai sector unggulan serta rancangan undang-undang tentang lahan pertanian abadi, adalah keliru membangun BIJB di atas 5000 ha lahan produktif petani Kertajati. Di sisi lain, waduk Jatigede di Kab. Sumedang yang telah mulai dibangun akan membantu mempermudah petani Kertajati memperoleh air bagi usaha pernaian mereka. Produksi pertanian jauh lebih optimal dibandingkan sebelumnya.

Disusun oleh Faisal N Faridduddin Jl. Brawijaya 71 Kadipaten-Majalengka 45452, jaringan Serikat Tani Nasional di Kab. Majalengka Prop. Jawa Barat.


Berikan Perlindungan Dan Hak-Hak Buruh Migran


Lembaga Bantuan Hukum Buruh Migrant Institute For Migrant Workers (LBH-BM IWORK), Dewan Buruh Migran Pantura (DBMP Kab. Karawang), Serikat Tani Nasional (STN)

Satu lagi buruh migrant perempuan Indonesia meninggal dunia di Luar Negeri. Kali ini menimpa Rita Setiani binti Kosim, buruh migrant Perempuan asal Dusun Kosambi Lempeng Tengah RT 03 / 04 Desa Sukatani Kecamatan Cilamaya Wetan Kabupaten Karawang Jawa Barat. Berdasarkan laporan dari Konsulat Jenderal R.I di Jeddah Saudi Rita Setiani bin Kosim meninggal dunia akibat penyakit paru-paru dan TBC, pada tanggal 1 Mei 2007.

Terjadi kesimpang siuran berita mengenai almarhumah, yang berkaitan dengan kapan meningganya dan sebab-sebab kematiannya, pada tanggal 30 April keluarga mendapat kabar dari majikan bahwa pada tanggal 1 Mei 2007 Rita akan dipulangkan karena sakit akibat jatuh dari lantai II rumah majikannya. Pihak keluarga bahkan telah melakukan penjemputan diterminal III bandara Soekarno-Hatta, akan tetapi setelah 2 hari menunggu sampai menginap, Rita tak kunjung datang.

Pada tanggal 16 Mei 2007 keluarga justru mendapat surat pemberitahuan dari kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi bahwa Rita Setiani telah meninggal dunia pada tanggal 1 Mei 2007 dengan lampiran visum dari Rumah Sakit King Fadh Bin Abdul Aziz yang menyebutkan bahwa penyebab kematiannya adalah Penyakit Paru-paru dan TBC.

Rita Setiani bin Kosim di berangkatkan oleh PT Fauzi Putra Hidayat, sampai di Arab Saudi pada 12 Oktober 2005. Berdasarkan dokumen keberangkatan yang dibuat PPTKIS PT Fauzi Putra Hidayat Usia Rita Setiani saat ini adalah 24 tahun, tapi berdasarkan konfirmasi tim bantuan hokum Lembaga Bantuan Hukum Buruh Migrant Institute for Migrant Workers (IWORK) dan Dewan Buruh Migran Pantura dengan keluarga almarhumah yang kebetulan anggota Komite Persiapan Kabupaten Serikat Tani Nasional (STN) Karawang.

Rita Setiani sebenarnya berumur 18 tahun, yang artinya ketika berangkat menjadi Buruh Migrant Perempuan ke Arab Saudi masih berumur 16 tahun. Itu artinya ada upaya pemalsuan document yang berkaitan dengan usia Almarhumah, yang artinya mengindikasikan terjadinya trafiking.

Kasus yang menimpa Rita Setiani binti Kosim hanyalah contoh kasus dari sekian banyak kasus kematian Buruh Migrant Indonesia di Luar Negeri, ini juga bukan satu-satunya kasus lambannya proses pemulangan Jenazah kembali ketanah air. Birokrasi yang berbelit menyebabkan proses pemulangan Jenazah terkesan lambat, ditambah tarik ulur dari pihak PPTKIS antara tawaran pemakaman jenazah di Arab Saudi atau Dipulangkan ketanah air. Bahkan PT Fauzi Putra Hidayat terkesan menutup-nutupi proses pemulangan Jenazah agar tidak terekspose oleh media atas kelambanannya memproses pemulangan Jenazah dan pemenuhan Hak-hak Almarhumah sebagai buruh migrant kepada keluarga.

Sedangkan tuntutan keluarga sendiri adalah Pemulangan Jenazah dan pemenuhan Hak-hak almarhumah sebagai Buruh Migrant. Padahal di dalam Undang-undang 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri pasal 73 menyebutkan kewajiban PPTKIS untuk memulangkan Jenazah Ketempat asal dengan layak, menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan agama buruh Migrant yang bersangkutan, memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk kepentingan anggota Keluarganya dan mengurus pemenuhan semua hak-hak Buruh Migrant yang harusnya diterima.

Pemalsuan document yang dilakukan PPTKIS yang bekerjasama dengan oknum aparat pemerintah Desa dan Kecamatan merupakan pilihan pahit yang harus diambil oleh Keluarga, karena tak ada pilihan lain demi meningkatkan perekonomian keluarga segala carapun diambil.

Alih-alih mendapatkan penghasilan yang lebih baik, almarhumah Rita Setiani merupakan anak satu-satunya pasangan Suami Istri Kosim (42 th) dan Narsih (35) yang bekerja sebagai buruh tani, berangkat dalam keadaan segar bugar bahkan tidak memiliki riwayat menderita penyakit paru-paru atau TBC, tiba-tiba dikabarkan meninggal dunia akibat penyakit TBC.

Selama 20 bulan masa kerjanya Almarhumah belum pernah sama sekali mengirimkan hasil kerjanya kepada keluarga. Sesuai dengan keterangan keluarga yang pernah beberapa kali menghubungi almarhumah bahwa Majikan selalu menunda-nunda pembayaran gaji yang merupakan hak dari Almarhumah sebagai Buruh Migrant. Setelah menunggu hamper 3 bulan akhirnya Jenazah almarhumah sendiri telah tiba di Tanah Air kemarin Sore menggunakan pesawat Qatar Airways Nomor penerbangan QR-767 ETDJeddah-Doha dan QR-612 ETD Doha-Jakarta, tiba dibandara Soekarno Hatta jam 16.25 WIB. Dan hari ini jam 09.00 WIB telah dimakamkan di Daerah asal Almarhumah.

Kasus-kasus serupa yang seperti yang dialami oleh Almarhumah sudah tak terhitung banyaknya, tapi masih terus berulang. Ini menunjukkan masih lemahnya perlindungan terhadap Buruh Migrant dan Pelaksanaan Berbagai peraturan yang berkaitan dengan Buruh Migrant seperti Undang-undang 39 Tahun 2004, Undang-undang tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan Orang, Peraturan tentang hak Asuransi Bagi TKI dan lain-lain.

Untuk itu, Lembaga Bantuan Hukum Buruh Migrant IWORK (LBH-BM IWORK), Dewan Buruh Migran Pantura dan Serikat Tani Nasional Menuntut :

  1. Berikan Hak-hak Rita Setiani binti Kosim Sebagai Buruh Migrant kepada Keluarganya Yaitu Santunan yang telah di Berikan Majikan kepada PPTKIS, Gaji yang belum terbayar dan Asuransi.
  2. Perjelas Hubungan Industrial antara Buruh Migrant dengan PPTKIS/PJTKI, PJTKA dan Majikan.
  3. Penghormatan dan Perlindungan menyeluruh dan simultan terhadap Buruh Migrant oleh Negara.
  4. Berantas Oknum Pejabat Pemerintah Pelaku Trafiking
  5. Implementasikan Undang-undang Pemberantasan tindak pidana perdagangan Orang.
  6. Laksanakan Reforma Agraria Sejati demi menciptakan lapangan kerja di pedesaan.

Jakarta, 27 July 2007